Ketika Penguasa Mataram Hamengkubuwono II Tak Mau Tunduk Kepada Raffles, Inggris Pun Jarah Keraton Yogyakarta

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Penjarahan yang dilakukan serdadu Inggris dan pasukan Sepehi-nya terhadap Keraton Mataram Yogyakarta terangkum dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta.
Penjarahan yang dilakukan serdadu Inggris dan pasukan Sepehi-nya terhadap Keraton Mataram Yogyakarta terangkum dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta.

Penjarahan yang dilakukan serdadu Inggris dan pasukan Sepehi-nya terhadap Keraton Mataram Yogyakarta terangkum dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta.

Intisari-Online.com -Salah satu hal yang rasanya tak akan bisa dilupakan Keraton Mataram Yogyakarta adalah penyerbuan dan penjarahan pasukan Inggris pada Juni 1812.

Peristiwa itu juga dikenal dengan sebutan Geger Sepehi.

Peristiw itu bermula ketika penguasa Mataram Yogyakarta, Hamengkubuwo II, tak mau tunduk kepada Inggris, kepada Thomas Raffles.

Peter Carey menggambarkan suasana jatuhnya Keraton Yogyakarta oleh tentara Inggris dalam buku Kuasa Ramalan.

Penggambaran itu dia peroleh setelah melakukan penelitian padaBabad Bedhah ing Ngayogyakarta.

Babad tersebut ditulis Pangeran Panular, salah satu putera Sultan HB II.

Saat pagi menjelang Sultan dan keluarganya berbusana serba putih, bahkan kursi-kursi pun dibalut kain putih.

Sultan telah memerintahkan semua kepala laskar prajurit keraton untuk meletakkan senjata dan mengibarkan bendera putih.

Sebelum pukul sembilan Sultan sudah menjadi tawanan.

Dalam tawanan itu termasuk sekitar 300 laskar perempuan pengawal Sultan.

Mereka adalah para perempuan yang dididik untuk berperilaku lembah lembut dan bertindak tegas secara militer.

Mereka mahir menggunakan senapan dan menunggang kuda.

Babad tersebut juga mengisahkan betapa terhinanya Sultan saat itu.

Mereka merelakan segala senjata dilucuti oleh serdadu Inggris dan Sepehi atau Sepoy.

Kemudian mereka diarak dengan pengawalan menuju Wisma Residen yang berlokasi di barat benteng Vredeburg--sekarang Gedung Agung.

Menurut Carey, Sultan menyerahkan keris, pedang, dan belatinya.

Seluruh senjata pusaka keraton yang disita yaitu Kiai Paningset, Kiai Sangkelat, Kiai Urub, Kiai Jinggo, Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, dan Kiai Mesem.

Namun, tatkala penobatan Hemangkubuwana III, senjata pusaka itu dikembalikan lagi ke keraton, kecuali pedang dan belati.

Dua benda itu dikirim Raffles ke Lord Minto di India sebagai tanda penaklukkan Keraton Yogyakarta kepada Kerajaan Inggris.

Bahkan, kancing-kancing emas yang melekat di busana kebesaran Sultan dijarah oleh para serdadu Sepoy India.

Berbagai senjata, gamelan, wayang, ratusan kitab sejarah Jawa, dan naskah-naskah daftar tanah kerajaan turut dijarah.

Bahkan, Babad Bedhah ing Ngayogyakarta juga berkisah bahwa selama empat hari lebih harta rampasan perang diangkut dengan pedati ke Wisma Residen.

Kuli pengangkutnya berasal dari pengawal dan kerabat dekat Sultan sendiri.

Sementara, sebagai seorang Letnan Gubernur Jenderal, Thomas Stamford Raffles pun tak ketinggalan.

Dia turut menjarah dan mengangkut harta keraton yang nilainya sekitar 200.000 hingga 1.200.000 dolar Spanyol.

Kolonel Rollo Gillespie, seorang Panglima Tentara Inggris di Jawa, menjarah 800.000 dolar Spanyol.

Sebesar 74.000 dolar Spanyol (sekitar 27 miliar rupiah untuk kurs kini) untuk dirinya sendiri, sisanya dibagi-bagikan ke perwira lain di bawahnya.

Sebagian lagi, sebesar 7.000 dolar Spanyol (sekitar 2,5 miliar rupiah untuk kurs kini) dibagikan kepada legiun Pangeran Prangwedana dari Mangkunagaran.

Pustaka naskah itu tidak kembali ke Jawa—setidaknya hingga hari ini.

Menurut pemerian Carey, sekitar 55 naskah Jawa milik Raffles, sebagian besar diserahkan kepada Royal Asiatic Society pada 1830.

Koleksi naskah jarahan Raffles bukanlah yang terbanyak.

Kolonel Colin Mackenzie memiliki 66 naskah Jawa milik Keraton Yogyakarta.

Sementara, sekitar 45 naskah Jawa koleksi John Crawfurd, seorang Residen Yogyakarta, sebagian besar dijual kepada British Museum pada 1842.

Babad tersebut juga berkisah tentang penjarahan yang tampaknya membabi buta terhadap barang-barang perhiasan milik perempuan keraton.

Serdadu-serdadu itu memasuki wilayah keputren.

Seorang istri resmi Putra Mahkota dilucuti perhiasan dan pakaian kebesarannya.

Salah seorang perwira Inggris tewas ditikam seorang perempuan keraton lantaran sang perwira akan membawanya sebagai rampasan perang, demikian paparan Carey dalam bukunya.

Peristiwa ini hanya terjadi sekali dalam sejarah Jawa, ketika istana sebagai lambang kedaulatan penguasa lokal diserang, dijarah, dan ditundukkan oleh pasukan Eropa.

Artikel Terkait