Perkawinan ini berhasil menyatukan kembali wilayah Mataram Kuno dan membawa kemakmuran serta perkembangan budaya.
Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani tidak mempermasalahkan perbedaan agama mereka, melainkan saling menghormati dan mendukung.
2) Pembangunan candi yang menggabungkan Hindu dan Buddha
Masyarakat Mataram Kuno yang terdiri dari penganut Hindu dan Buddha juga hidup harmonis dan saling toleran.
Hal ini terlihat dari pembangunan candi-candi yang mencerminkan akulturasi budaya antara kedua agama tersebut.
Salah satu contohnya adalah Candi Plaosan di Klaten, yang dibangun oleh Rakai Pikatan sebagai hadiah untuk Pramodhawardhani.
Candi ini memiliki unsur-unsur arsitektur Hindu dan Buddha, seperti stupa, lingga, makara, kala, dan lain-lain.
Selain itu, Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani juga turut serta dalam meresmikan Candi Borobudur (Buddha) yang merupakan karya besar Dinasti Syailendra.
Di sisi lain, Rakai Pikatan juga membangun Candi Prambanan (Hindu) sebagai tempat pemujaan dewa Siwa.
Rakai Pikatan juga tidak melupakan Candi Plaosan Lor (Buddha) yang merupakan peninggalan ayahandanya, Rakai Panangkaran.
Ia menambahkan dua stupa di samping candi induk sebagai tanda penghormatan kepada istrinya yang beragama Buddha.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa toleransi antarumat beragama telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Candi-candi Hindu dan Buddha yang berdiri berdampingan menjadi saksi bisu dari keharmonisan masyarakat Mataram Kuno.
Demikian penjelasan tentang 2 bukti toleransi dalam masyarakat mataram kuno. Cermin masyarakat kerajaan Mataram Kuno telah memiliki sikap toleransi tinggi.
Baca Juga: Kerajaan Mataram Kuno: Sejarah, Raja-raja, dan Peninggalannya
KOMENTAR