Intisari-Online.com -Salah satu contoh masyarakat kerajaan yang menunjukkan sikap toleransi yang tinggi adalah masyarakat Kerajaan Mataram Kuno yang berdiri sekitar abad ke-8 hingga abad ke-11 di Jawa Tengah.
Masyarakat Kerajaan Mataram Kuno telah memiliki sikap toleransi tinggi terhadap perbedaan agama antara Hindu dan Buddha.
Hal ini dapat dilihat dari dua bukti toleransi dalam masyarakat Mataram Kuno yang menggabungkan unsur-unsur kedua agama tersebut.
Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut tentang dua bukti toleransi tersebut.
Kita akan melihat bagaimana masyarakat Mataram Kuno mampu hidup harmonis dan saling menghormati meski memiliki keyakinan yang berbeda.
Kita juga akan melihat bagaimana masyarakat Mataram Kuno mampu menciptakan karya budaya yang menakjubkan dengan menggabungkan unsur-unsur Hindu dan Buddha.
1) Perkawinan antara Hindu dan Buddha
Kerajaan Mataram Kuno yang berdiri sekitar abad ke-8 hingga abad ke-11 memiliki dua dinasti yang berbeda keyakinan, yaitu Dinasti Sanjaya yang menganut Hindu dan Dinasti Syailendra yang menganut Buddha.
Pada awalnya, kedua dinasti ini memerintah wilayah Mataram Kuno secara terpisah, dengan Dinasti Sanjaya di utara dan Dinasti Syailendra di selatan.
Namun, pada tahun 820 Masehi, terjadi perkawinan politik antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya (Hindu) dan Pramodhawardani dari Dinasti Syailendra (Buddha).
Baca Juga: 17 Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno, dari Candi Hingga Prasasti
Perkawinan ini berhasil menyatukan kembali wilayah Mataram Kuno dan membawa kemakmuran serta perkembangan budaya.
Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani tidak mempermasalahkan perbedaan agama mereka, melainkan saling menghormati dan mendukung.
2) Pembangunan candi yang menggabungkan Hindu dan Buddha
Masyarakat Mataram Kuno yang terdiri dari penganut Hindu dan Buddha juga hidup harmonis dan saling toleran.
Hal ini terlihat dari pembangunan candi-candi yang mencerminkan akulturasi budaya antara kedua agama tersebut.
Salah satu contohnya adalah Candi Plaosan di Klaten, yang dibangun oleh Rakai Pikatan sebagai hadiah untuk Pramodhawardhani.
Candi ini memiliki unsur-unsur arsitektur Hindu dan Buddha, seperti stupa, lingga, makara, kala, dan lain-lain.
Selain itu, Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani juga turut serta dalam meresmikan Candi Borobudur (Buddha) yang merupakan karya besar Dinasti Syailendra.
Di sisi lain, Rakai Pikatan juga membangun Candi Prambanan (Hindu) sebagai tempat pemujaan dewa Siwa.
Rakai Pikatan juga tidak melupakan Candi Plaosan Lor (Buddha) yang merupakan peninggalan ayahandanya, Rakai Panangkaran.
Ia menambahkan dua stupa di samping candi induk sebagai tanda penghormatan kepada istrinya yang beragama Buddha.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa toleransi antarumat beragama telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Candi-candi Hindu dan Buddha yang berdiri berdampingan menjadi saksi bisu dari keharmonisan masyarakat Mataram Kuno.
Demikian penjelasan tentang 2 bukti toleransi dalam masyarakat mataram kuno. Cermin masyarakat kerajaanMataram Kuno telah memiliki sikap toleransi tinggi.
Baca Juga: Kerajaan Mataram Kuno: Sejarah, Raja-raja, dan Peninggalannya