Salah Satu Peninggalan Terpenting Mataram Islam, Inilah Sosok Yang Menciptakan Kalender Jawa

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Supaya perayaan adat keraton dan hari besar Islam berbarengan, Sultan Agung menciptakan Kalender Jawa ala Mataram Islam.
Supaya perayaan adat keraton dan hari besar Islam berbarengan, Sultan Agung menciptakan Kalender Jawa ala Mataram Islam.

Supaya perayaan adat keraton dan hari besar Islam berbarengan, Sultan Agung menciptakan Kalender Jawa ala Mataram Islam.

Intisari-Online.com -Sultan Agung memanglah raja Mataram Islam yang komplit.

Selain sebagai panglima perang kelas wahid, Sultan Agung juga seorang yang berkebudayaan tinggi.

Jika tidak demikian, bagaimana bisa dia menciptakan Kalender Jawa yang ikonik itu?

Bagi masyarakat Jawa, setidaknya ada tiga kalender atau sistem penanggalan yang mereka kenal.

Ketiganya adalah kalender Masehi, Kalender Hijriah, dan kalender Jawa.

Di antara sistem penanggalan tersebut, kalender Jawa menjadi yang paling muda.

Lantas, siapa yang menciptakan kalender Jawa dan kapan dimulainya?

Kalender Jawa diciptakan pertama kali oleh Sultan Agung pada 1633 Masehi.

Sultan Agung adalah raja terbesar Mataram Islam, yang berhasil membawa kerajaan menuju puncak kejayaan ketika berkuasa antara 1613-1645.

Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung membawa banyak perubahan, salah satunya menciptakan kalender Jawa.

Supaya perayaan adat keraton dan hari besar Islam berbarengan

Kalender Jawa adalah hasil perpaduan antara penanggalan Saka dari India dan Hijriah (Islam).

Sebelum masa pemerintahan Sultan Agung, masyarakat Mataram Islam menggunakan kalender Saka.

Kalender Saka didasarkan pada pergerakan matahari, berbeda dengan kalender Islam atau Hijriah yang didasarkan pada pergerakan bulan.

Perbedaan itu menyebabkan perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan oleh keraton tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam.

Sultan Agung menginginkan agar perayaan adat oleh keraton dan hari besar Islam dapat terjadi dalam waktu bersamaan.

Itulah kenapa Sultan Agung menciptakan kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan Hijriah.

Perubahan sistem penanggalan oleh Sultan Agung dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M.

Penanggalan yang baru tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 menjadi tahun 1, tetapi meneruskannya dengan berbagai penyesuaian.

Salah satu penyesuaiannya terletak pada sistem perhitungan, yang bukan mengikuti kalender Saka dengan berdasarkan matahari.

Tapi perhitungan berdasarkan pergerakan bulan, seperti penanggalan Hijriah.

Sehingga, jumlah hari dan bulan dalam kalender Jawa memakai sistem Islam, tetapi angka tahunya tetap mengikuti kalender Saka.

Pakai dua siklus

Nama bulan dalam kalender Jawa adalah Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangidah, Besar.

Nama bulan tersebut mirip dengan urutan kalender Hijriah yakni Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syaban, Ramadan, Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah.

Karena sistem perhitungannya sama, awal tahun baru kalender Jawa selalu jatuh bersamaan dengan tahun baru Islam.

Sehingga saat umat Muslim merayakan tahun baru Islam 1 Muharam, masyarakat Jawa juga merayakan tahun baru kalender Jawa yaitu 1 Suro.

Meski tahunnya berbeda.

Selain itu, sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari.

Yang pertama adalah siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari seperti kalender Masehi.

Pemberian nama hari dalam kalender Jawa menyerap dari bahasa Arab, di antaranya Ahad (Minggu), Isnain (Senin), Tsalasa (Selasa), Arba’a (Rabu), Khamisi (Kamis), Jum‘ah (Jumat), dan Sab’ah (Sabtu).

Yang kedua adalah siklus pancawara, yang terdiri dari lima hari pasaran, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Sistem penanggalan Jawa yang diciptakan Sultan Agung berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram Islam.

Kini, kalender Jawa masih digunakan oleh sebagian masyarakat Jawa.

Artikel Terkait