Intisari-online.com - Pembentukan karesidenanpembentukan wilayah administratif Karesidenan Surakarta oleh pemerintah kolonial Belanda di abad ke-18.
Wilayah ini meliputi daerah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran yang memiliki luas kira-kira 5.677 km2.
Karesidenan Surakarta terbentuk karena dua perjanjian penting yang mengubah peta kekuasaan di Jawa, yaitu Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga.
Perjanjian Giyanti adalah perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1755 antara Sunan Pakubuwono III, raja Mataram yang bersekutu dengan Belanda, dan Pangeran Mangkubumi, pemberontak yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono I, raja Yogyakarta.
Perjanjian ini membagi wilayah Mataram menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta, dengan sungai Opak sebagai batasnya.
Perjanjian ini juga mengakhiri Perang Jawa Pertama yang berlangsung sejak tahun 1746.
Perjanjian Salatiga adalah perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1757 antara Sunan Pakubuwono III dan Raden Mas Said, putra bungsu Sunan Pakubuwono II yang juga memberontak terhadap ayahnya.
Perjanjian ini memberikan wilayah Mangkunegaran kepada Raden Mas Said sebagai ganti penghentian pemberontakan.
Raden Mas Said kemudian bergelar Mangkunegoro I, pendiri Praja Mangkunegaran.
Perjanjian ini juga mengakhiri Perang Jawa Kedua yang berlangsung sejak tahun 1749.
Kedua perjanjian ini menyebabkan peta kekuasaan di Jawa berubah secara signifikan.
Baca Juga: Kisah Pangeran Samber Nyowo, Pendiri Mangkunegaran yang Berasal dari Pemberontakan Mataram Islam
Mataram yang dulunya merupakan kerajaan besar dan kuat terpecah menjadi empat wilayah, yaitu Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Belanda juga semakin menguasai Jawa dengan menjadikan keempat wilayah tersebut sebagai negara bawahan atau vazal.
Belanda juga menempatkan residen sebagai wakilnya di setiap karesidenan untuk mengawasi dan mengatur urusan pemerintahan.
Karesidenan Surakarta kemudian dibentuk tanggal 16 Juni 1946.
Pada tanggal tersebut, wilayah Surakarta yang sebelumnya merupakan Daerah Istimewa Surakarta di bawah kepemimpinan Sri Susuhunan Pakubuwono XII dan Sri Mangkunegoro VIII, kehilangan otonominya dan menjadi wilayah administratif Belanda.
Karesidenan Surakarta terdiri dari Kota Praja Surakarta dan enam kabupaten di sekitarnya, yaitu Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali.
Karesidenan Surakarta berlangsung hingga tahun 1950, ketika Indonesia merdeka dari Belanda.
Pada tanggal 4 Juli 1950, Karesidenan Surakarta dibubarkan dan digantikan oleh Kota Surakarta dan enam kabupaten di sekitarnya, yaitu Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali.
Karesidenan Surakarta memiliki sejarah yang panjang dan kaya.
Wilayah ini merupakan pusat budaya Jawa yang melestarikan tradisi dan seni keraton, seperti wayang, gamelan, batik, tari, dan sastra.
Karesidenan Surakarta juga menjadi saksi berbagai peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, seperti Perang Diponegoro, Perang Jawa, Serangan Umum 1 Maret 1949, Pemberontakan PKI Madiun, dan Revolusi Sosial.
Karesidenan Surakarta juga memiliki banyak tempat bersejarah dan menarik untuk dikunjungi, seperti Keraton Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, Masjid Agung Surakarta, Pasar Klewer, Museum Radya Pustaka, Museum Keris Nusantara, Museum Batik Danar Hadi, dan lain-lain.
Karesidenan Surakarta juga terkenal dengan kuliner khasnya, seperti nasi liwet, serabi solo, timlo solo, tengkleng, selat solo, dan lain-lain.
Karesidenan Surakarta merupakan salah satu wilayah yang berperan penting dalam sejarah dan budaya Indonesia.
Wilayah ini juga memiliki potensi untuk berkembang menjadi kota modern yang tetap menjaga identitasnya sebagai kota budaya.