Intisari-Online.com -Soekarno adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Ia adalah proklamator kemerdekaan, presiden pertama, dan bapak bangsa.
Ia dikenal sebagai orator ulung, pemimpin karismatik, dan visioner yang berani.
Sejak lahir, ia sudah digadang-gadang bakal menjadi orang besar yang akan membawa perubahan bagi bangsanya.
Namun, di balik gemilangnya prestasi dan popularitasnya, Soekarno juga mengalami nasib yang tragis di akhir hayatnya.
Ia harus menghadapi kudeta, pengasingan, penyakit, dan kemiskinan. Ia bahkan tidak mendapatkan perlakuan yang layak sebagai mantan presiden.
Pada suatu pagi di Istana Merdeka, ia minta sarapan roti bakar seperti biasanya. Namun, ia ditolak oleh pelayan yang mengatakan tidak ada roti.
Ia lalu meminta pisang, nasi dengan kecap, atau apapun yang bisa dimakan. Namun, semuanya juga tidak ada.
Bagaimana kisah selengkapnya? Bagaimana perjuangan dan pengorbanan Soekarno untuk bangsanya di akhir hidupnya?
Simak artikel ini untuk mengetahui jawabannya.
Kisah Bung Karno di Akhir Kekuasaan
Teks ini mengisahkan nasib tragis Soekarno, mantan Presiden Indonesia, di akhir masa jabatannya.
Kisahnyadiambil dari buku yang berjudul “Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno” yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada tahun 2014 dan ditulis oleh Asvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F. Isnaeni, M.F. Mukti
Suatu pagi di Istana Merdeka, Soekarno meminta sarapan roti bakar seperti biasanya.
Pelayan menjawab, “Tidak ada roti..”
Soekarno berkata, “Kalau tidak ada roti, saya minta pisang.”
Pelayan menjawab lagi, “Itu pun tidak ada.”
Karena merasa lapar, Soekarno meminta, “Nasi dengan kecap saja saya mau.”
Namun pelayan kembali menjawab, “Nasinya tidak ada.”
Akhirnya, Soekarno pergi ke Bogor untuk mencari sarapan di sana.
Maulwi Saelan, bekas ajudan dan kepala protokol pengamanan presiden juga menceritakan ucapan Soekarno tentang keadaan dirinya.
Dalam percakapan tersebut, menurut Maulwi Saelan, Bung Karno menyebut diirnya tidak mau melawan perlakuan sewenang-wenang terhadap dirinya.
“Biarlah aku yang hancur asal bangsaku tetap bersatu,” kata Bung Karno.
Baca Juga: Resmi, Timnas Indonesia Akan Bertemu Argentina Juni Nanti, Messi Datang Tidak Ya?
Di kesempatan lain, setelah mengantar dan menjemput Mayjen Soeharto bicara berdua dengan Presiden Soekarno di Istana, Maulwi mendengar perkataan atasannya itu tentang segala fitnah yang ditujukan kepadanya.
”Saelan, biarlah nanti sejarah yang menilai, Soekarno apa Soeharto yang benar,” tutur Bung Karno seperti disampaikan Maulwi Saelan.
Maulwi Saelan tidak pernah mengerti maksud sebenarnya perkataan itu.
Ketika kekuasaan berganti, Maulwi Saelan ditahan dan dipindah-pindah dari penjara ke penjara.
Dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke Penjara Salemba, pindah ke Lembaga Pemasyarakatan Nirbaya di Jakarta Timur.
Sampai suatu siang di tahun 1972, alias lima tahun setelah ditahan, dia disuruh untuk keluar dari sel.
Ternyata itu hari pembebasannya.
Tanpa pengadilan, tanpa sidang, namun dia harus mencari surat keterangan dari Polisi Militer agar tidak dicap PKI.
“Sudah, begitu saja,” kenangnya.