Dari Sultan Agung hingga Pakubuwono III, Begini Kisah Runtuhnya Mataram Islam

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Sultan Agung dan Paku Buwono III
Ilustrasi - Sultan Agung dan Paku Buwono III

Intisari-online.com - Kerajaan Mataram Islam adalah salah satu kerajaan Islam terkuat dan terbesar di Pulau Jawa yang berdiri sejak abad ke-16 hingga abad ke-18.

Kerajaan ini didirikan oleh Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati, yang merupakan anak dari Ki Ageng Pemanahan, seorang bupati Pajang yang diberi tanah di hutan Mentaok (sekarang Kotagede, Yogyakarta).

Setelah Sultan Hadiwijaya dari Pajang meninggal, Sutawijaya memberontak dan mendirikan kerajaan sendiri yang bernama Mataram.

Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645), yang berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura.

Sultan Agung juga terkenal sebagai raja yang sangat anti kolonialisme dan pernah dua kali menyerang VOC di Batavia pada tahun 1628 dan 1629, meskipun belum sepenuhnya berhasil.

Selain itu, Sultan Agung juga dikenal sebagai raja yang memperhatikan aspek budaya dan agama, dengan membangun masjid-masjid, makam-makam raja-raja Islam sebelumnya, serta mengadopsi kalender Jawa dengan unsur Islam.

Namun, setelah Sultan Agung meninggal, Kerajaan Mataram Islam mulai mengalami kemunduran dan krisis internal.

Penerusnya, Amangkurat I (1646-1677), menghadapi pemberontakan dari Raden Mas Alit (Trunojoyo) dan Raden Kajoran (Pangeran Puger), yang didukung oleh VOC.

Amangkurat I akhirnya meninggal dalam pelarian dan digantikan oleh putranya, Amangkurat II (1677-1703), yang juga harus berhadapan dengan pemberontakan dari Sunan Kuning (Pangeran Mangkubumi).

Dalam upaya mengatasi pemberontakan ini, Amangkurat II meminta bantuan VOC dan menandatangani Perjanjian Semarang pada tahun 1677, yang menyebabkan lepasnya wilayah Madura dan pesisir utara Jawa dari Mataram.

Perjanjian Semarang menjadi awal dari campur tangan VOC dalam urusan internal Mataram.

Baca Juga: Persekongkolan Putra Mahkota Mataram Islam Culik Istri Tercantik Tumenggung Wiraguna Bikin Sultan Agung Marah Besar

VOC memanfaatkan konflik antara para penguasa Mataram untuk membuat perjanjian-perjanjian yang menguntungkan dirinya dan melemahkan Mataram.

Salah satu perjanjian yang paling berpengaruh adalah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua kekuasaan, yaitu Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwono III (1749-1788) dan Kasultanan Ngayogyakarta di bawah Hamengkubuwono I (1755-1792). Perjanjian ini menandai runtuhnya Kerajaan Mataram Islam sebagai kerajaan tunggal di Jawa.

Kerajaan Mataram Islam meninggalkan banyak peninggalan baik di bidang politik, ekonomi, budaya, maupun agama.

Beberapa peninggalannya antara lain adalah masjid-masjid seperti Masjid Agung Kotagede dan Masjid Gedhe Kauman, makam-makam seperti Imogiri dan Kota Gede, serta istana-istana seperti Keraton Karta dan Keraton Kasunanan.

Selain itu, Kerajaan Mataram Islam juga mempengaruhi perkembangan bahasa Jawa, seni pertunjukan seperti wayang kulit dan gamelan, serta ajaran keagamaan seperti tasawuf dan tarekat.

Masa pembangunan (1630 – 1645) merupakan masa pembangunan di bidang politik, ekonomi, budaya, dan agama.

Sultan Agung memindahkan ibukota dari Kotagede ke Karta (sekarang Klaten) dan membangun istana yang megah.

Sultan Agung juga membangun masjid-masjid seperti Masjid Agung Kotagede dan Masjid Gedhe Kauman, serta makam-makam seperti Imogiri dan Kota Gede.

Sultan Agung juga mengadopsi kalender Jawa dengan unsur Islam dan menetapkan bahasa Jawa sebagai bahasa resmi kerajaan.

Namun, setelah Sultan Agung meninggal, Kerajaan Mataram Islam mulai mengalami kemunduran dan krisis internal. Penerusnya, Amangkurat I (1646-1677), menghadapi pemberontakan dari Raden Mas Alit (Trunojoyo) dan Raden Kajoran (Pangeran Puger), yang didukung oleh VOC.

Amangkurat I akhirnya meninggal dalam pelarian dan digantikan oleh putranya, Amangkurat II (1677-1703), yang juga harus berhadapan dengan pemberontakan dari Sunan Kuning (Pangeran Mangkubumi).

Baca Juga: Ayahnya Kepercayaan Sultan Agung, Sosok Ini Justru Jadi Pengkhianat Mataram, Bocorkan Rencana Serangan Ke VOC

Dalam upaya mengatasi pemberontakan ini, Amangkurat II meminta bantuan VOC dan menandatangani Perjanjian Semarang pada tahun 1677, yang menyebabkan lepasnya wilayah Madura dan pesisir utara Jawa dari Mataram.

Perjanjian Semarang menjadi awal dari campur tangan VOC dalam urusan internal Mataram.

VOC memanfaatkan konflik antara para penguasa Mataram untuk membuat perjanjian-perjanjian yang menguntungkan dirinya dan melemahkan Mataram.

Salah satu perjanjian yang paling berpengaruh adalah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua kekuasaan, yaitu Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwono III (1749-1788) dan Kasultanan Ngayogyakarta di bawah Hamengkubuwono I (1755-1792).

Perjanjian ini menandai runtuhnya Kerajaan Mataram Islam sebagai kerajaan tunggal di Jawa.

Kerajaan Mataram Islam meninggalkan banyak peninggalan baik di bidang politik, ekonomi, budaya, maupun agama.

Beberapa peninggalannya antara lain adalah masjid-masjid seperti Masjid Agung Kotagede dan Masjid Gedhe Kauman, makam-makam seperti Imogiri dan Kota Gede, serta istana-istana seperti Keraton Karta dan Keraton Kasunanan.

Selain itu, Kerajaan Mataram Islam juga mempengaruhi perkembangan bahasa Jawa, seni pertunjukan seperti wayang kulit dan gamelan, serta ajaran keagamaan seperti tasawuf dan tarekat.

Kerajaan Mataram Islam juga dianggap sebagai cikal bakal dari kerajaan-kerajaan kecil di Jawa yang masih ada hingga kini.

Kerajaan Mataram Islam juga dianggap sebagai cikal bakal dari kerajaan-kerajaan kecil di Jawa yang masih ada hingga kini.

Artikel Terkait