Pembersihan Mahakarya Wangsa Sailendra itu berlangsung selama dua bulan dengan bantuan 200 warga desa.
Mereka menggali tanah yang menimbun candi, serta memotong dan membakar semak belukar yang menyelimuti candi.
Khusus untuk penggalian, Cornelius terpaksa membatasinya karena tidak ingin Borobudur runtuh.
Namun, meski meminta informasi tentang Borobudur dan sering mendapat laporan dari Cornelius, Raffles sendiri tidak banyak menulis mengenai Borobudur dalam buku-bukunya.
Bahkan dalam karya besarnya, History of Java (1817), hanya ada beberapa kalimat yang menyebut Borobudur.
Foto-foto lawas Borobudur yang bisa dilihat di Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur di kompleks Taman Candi Borobudur, Magelang.
Kerusakan parah terlihat di candi yang memiliki enam tingkat berbentuk persegi dan tiga tingkat berbentuk lingkaran itu.
Teras melengkung bergelombang karena gempa, batu-batu penyusun stupa jatuh dan berserakan di teras lantai.
Di lantai 8, 9, dan 10 atau yang dikenal dengan tingkat Arupadhatu, kondisi candi sangat memprihatinkan.
Stupa utama yang biasa kita lihat dari kaki Borobudur hanya tinggal rongga menganga yang berisi batu-betu penyusunnya.
Stupa di sekitar stupa utama juga sebagian runtuh.
Batu-batu ‘pengunci’ yang berbentuk ekor burung, takikan, tipe alur dan lidah, serta tipe purus dan lubang tak lagi menempel, sebagai mana fungsi seharusnya.
Debu vulkanis dan material lahar ‘tersebar’ di sekitar candi. Hal ini pula yang menyebabkan semak belukar tumbuh dan menyelimuti candi.
Diduga gempa yang sangat kuat (juga gunung meletus) yang membuat kondisi candi Borobudur sangat hancur saat pertama kali dilihat oleh Cornelius.
Baca Juga: Di Balik Peristiwa Biksu Thailand Jalan Kaki Ribuan Kilometer Ke Candi Borobudur, Apa Itu Thudong?
KOMENTAR