Intisari-online.com - dr. Tjipto Mangoenkoesoemo adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang terlahir di Pecangan, Jepara pada tahun 1886.
Ia merupakan anak sulung dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan yang mampu memberikan pendidikan yang tinggi kepada anak-anaknya.
Cipto sendiri menempuh pendidikan di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda.
Di STOVIA, Cipto menunjukkan sikap yang berbeda dari teman-temannya.
Ia dikenal sebagai murid yang berbakat, jujur, berpikiran tajam dan rajin.
Kemudian ia juga lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, membaca buku dan bermain catur daripada pesta dan bermain.
Penampilannya pun tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan.
Cipto merupakan pemikir cerdas yang kritis terhadap pemerintahan penjajahan Belanda.
Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda.
Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara, ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan pemikiran tersebut dan membangkitkan semangat perlawanan rakyat .
Pada tahun 1913, ia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali pada tahun 1917.
Baca Juga: Suka Menolong Warga Miskin Yang Ditindas Penjajah, Sosok Ini Disebut Sebagai Robin Hood Dari Betawi
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad.
Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.
Di sana ia tetap aktif menulis dan menyuarakan aspirasinya melalui surat-suratnya yang dikirim ke berbagai media massa.
Salah satu suratnya yang terkenal adalah surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1928 yang berisi kritik pedas terhadap kebijakan-kebijakan kolonial.
Dalam surat tersebut, Cipto menolak untuk menghormati Gubernur Jenderal dengan cara membungkuk atau membawa topi.
Ia juga mengecam sistem pendidikan kolonial yang tidak memberikan kesempatan yang sama kepada penduduk pribumi.
Bahkan beliau menantang Gubernur Jenderal untuk melakukan debat terbuka dengan dirinya di depan publik.
Surat Cipto ini menunjukkan betapa beraninya ia menghadapi penguasa kolonial dan tidak takut untuk menyampaikan kebenaran.
Ia juga menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia yang kemudian melanjutkan perjuangan kemerdekaan.
Sayangnya, Cipto tidak sempat merasakan kemerdekaan Indonesia karena ia meninggal pada tahun 1943 di Jakarta akibat sakit paru-paru.
Baca Juga: Cucunya Gugat Cerai Istri, Kakek Desta Ternyata Bukan Sosok Sembarangan, Karyanya Dibaca 1 Indonesia
Ia dimakamkan di TMP Ambarawa dengan penghormatan militer oleh tentara Jepang.
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo adalah salah satu pelopor Hari Kebangkitan Nasional yang ditetapkan pada tanggal 20 Mei.
Tanggal ini bertepatan dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tahun 1908 oleh para mahasiswa STOVIA sebagai wujud kesadaran nasional.
Cipto merupakan salah satu tokoh STOVIA yang turut andil dalam gerakan ini dan memberikan sumbangsih besar bagi bangsa Indonesia.