Tak banyak yang tahu, Mahendra Desta adalah cucu penulis cerita silat legendaris Kho Ping Hoo. Sekarang gugat cerai istrinya, Natasha Rizki.
Intisari-Online.com -Tak ada angin tak ada hujan, presenter ngetop Mahendra Desta tiba-tiba melayangkan gugatan cerai kepada istrinya, Natasha Rizki.
Hingga sekarang, tidak jelas apa alasan dibalik gugatan cerai tersebut.
Terlepas dari itu, Mahendra Desta ternyata punya "darah biru" di dunia seni Indonesia.
Kakeknya adalah seorang penulis cerita silat legendaris di Indonesia.
Rasanya satu Indonesia sudah pernah baca atau paling tidak tahu nama dan karyanya.
Jika Anda pernah mendengar nama Kho Ping Ho, dialah kakek Desta.
Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo merupakan penulis cerita silat legendaris Indonesia.
Nama Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa di Indonesia.
Dalam kurun waktu 30 tahun, setidaknya sudah ada 120 judul yang pernah ditulis oleh Kho Ping Hoo.
Kebanyakan cerita Kho Ping Hoo berlatar belakangTiongkok.
Meski begitu, kakek Desta itu tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Mandarin.
Dia lebih banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan.
Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tidak memiliki akses ke sumber-sumber sejarah negeri Tiongkok berbahasa Tionghoa.
Sehingga banyak fakta historis dan geografis Tiongkok dalam ceritanya tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Dari sebab itu, karya Kho Ping Hoo akan membingungkan bagi yang mengerti sastra atau sejarah Tiongkok yang sebenarnya.
Karya Kho Ping Hoo, terutama cerita silatnya, mempunyai arti penting di hati para pembacanya di Indonesia, terutama para keturunan Tionghoa yang dibesarkan di rezim Soeharto.
Hal ini disebabkan pada masa tersebut kebudayaan Tionghoa mendapat tekanan relatif keras di Indonesia.
Dalam suasana tersebut, karya Kho Ping Hoo menjadi "sumber" yang langka untuk kebudayaan, sejarah, agama bahkan moral Tionghoa.
Walaupun sebenarnya karya tersebut hanyalah tuangan fantasi Kho Ping Hoo.
Walaupun banyak fakta sejarah dan letak tempat Tiongkok dalam ceritanya yang tidak sesuai dengan kenyataan, cerita Silat Kho Ping Hoo tetap berkesan mendalam bahkan menjadi pembentuk watak bagi para penggemarnya.
Karyanya yang penuh fantasi membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar lebih banyak tentang budaya Tiongkok atau Cina di kalangan pembacanya.
Sejumlah istilah khas Kho Ping Hoo juga masih sering digunakan hingga sekarang.
Di antaranya adalah dunia persilatan, manusia setengah dewa dan lainnya.
Banyak cerita silat karangan Kho Ping Hoo yang terkenal pada masanya seperti Bu Kek Siansu, Pedang Kayu Harum, Pendekar Super Sakti, Badai Laut Selatan, Iblis dan Bidadari, Darah Mengalir di Borobudur, Keris Pusaka Nogopasung dan masih banyak lagi.
Kho Ping Hoo meninggal dunia pada 22 Juli 1994 di RS Kasih Ibu, Solo, Jawa Tengah, karena komplikasi jantung dan ginjang.
Kho biasanya secara teratur menulis mulai hari Minggu hingga Kamis di Pondok Wisma Damai, sebuah villa mungil di Tawangmangu, daerah pegunungan sekitar 40 kilometer arah timur dari rumah kediamannya di Solo, Jawa Tengah.
Dari tempat nyaman berhawa dingin ini, setiap bulan lahir dua atau tiga naskah, yang kemudian dibawa turun gunung untuk kemdian dicetak di percetakan dan penerbitan yang dimiliki oleh menantunya.
Buku-buku cerita silatnya kemudian menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan hingga ke Negeri Kincir Angin, Belanda.
Berasal dari keluarga miskin Kho Ping Hoo lahir di Sragen, 17 Agustus 1926 dari orang tua berdarah China-Jawa, Kho Kiem Po.
Pada usia 14 tahun dia sudah lepas dari bangku sekolah dan jadi pelayan toko.
Ketika telah lulus dari HIS Sragen (setingkat SD), dia pernah mencoba mendaftar ke MULO dan diterima, namun perekonomian keluarganya yang sulit membuatnya tidak mampu meneruskan sekolah.
Kehidupannya begitu getir, hingga ia sering menitikkan air mata saat melihat teman-temannya berangkat sekolah, sedangkan ia harus bekerja menjaga toko.
Ketika Jepang masuk ke Tanah Air jelang berakhirnya Perang Dunia II, ia pindah ke Surabaya dan beralih profesi sebagai penjual obat.
Ia menjajakan pil-pil semacam kina dan lain-lain ke toko-toko.
Pada masa ini, ia juga bergabung dan digembleng dalam Kaibotai, semacam hansip Jepang, yang pendidikannya sudah sangat militer.
Dari Surabaya, ia kembali ke Sragen dan bergabung dengan BPTH (Barisan Pemberontak Tionghoa).
Barisan ini senantiasa kompak dengan BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia).
Pada tahun-tahun krisis itu, 1945, ia bertemu dengan jodohnya.
Bermodalkan cinta, ia menikahi Ong Ros Hwa, kelak berganti nama menjadi Rosita, perempuan Sragen kelahiran Yogyakarta.
Dari Sragen, dia bersama keluarganya lantas berpindah ke Kudus.
Ada satu peristiwa besar yang membuat Kho Ping Hoo bertekad menjadi seorang pekerja keras.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1945.
Ketika itu ia bekerja di Kudus, sebagai mandor tembakau pada sebuah perusahaan rokok.
Ia dipekerjakan di sebuah desa kecil di daerah Kudus.
Setiap hari Minggu, ia baru bisa berkumpul bersama orang tua dan keluarganya yang bermukim di pusat kota Kudus.
Pada satu hari yang selalu membekas dalam ingatannya, ia baru turun dari kereta api, sepulang kerja.
Sekonyong-konyong ia melihat ayahnya, Kho Kiem Po, seorang guru silat sedang meminta-minta.
Pemandangan itu begitu sulit ia percaya, meskipun pada akhirnya bisa ia maklumi.
Sang ayah ketika itu sedang sakit keras, dan karena keluarga mereka termasuk miskin, maka biaya pengobatan tidak bisa mereka dapatkan seketika.
Satu-satunya jalan untuk mendapat uang dengan cepat adalah melalui jalan pintas, yakni menjadi pengemis.
Sebagai anak laki-laki pertama, atau anak kedua dari 12 bersaudara ia merasa sangat bertanggungjawab atas peristiwa itu.
Ia punya kewajiban mencari uang kontan untuk biaya pengobatan.
Dengan keyakinan bahwa ia tak akan mudah mendapat uang langsung dari perusahaannya, maka sejak hari itu ia memutuskan memilih pekerjaan yang bisa mendapat uang dengan cepat.
Dia kemudian memilih menjadi tukang becak. Profesi ini memang tidak lama ia lakoni, tidak sampai seminggu.
Namun, hari-hari bersejarah itu selalu terkenang dalam hatinya.
Debutnya sebagai pengarang dimulai tahun 1958, ketika itu ia pindah ke Tasikmalaya, Jawa Barat dan bersama sejumlah penulis di sana mereka menerbitkan majalah Teratai.
Ia mencoba melemparkan cerita silat serial berjudul Pusaka Naga Putih, dan ternyata banyak diminati.
Sejak itu karya-karyanya meluncur, terutama lewat penerbit Analisa Jakarta.
Sejumlah karyanya yang terkenal berjudul Bu Kek Siansu, Pendekar Gila, Suling Emas, Cinta Bernoda Darah, Mutiara Hitam, Sepasang Pedang Iblis, Pendekar Super Sakti (dengan tokohnya bernama Suma Han, sebagai kenangan akan putranya nomor dua yang meninggal karena kanker), Istana Pulau Es, Sepasang Rajawali, dan Jodoh Rajawali.
Selain kisah silat Cina, Kho Ping Hoo yang sebenarnya mulai terjun menulis sejak 1951, banyak pula melahirkan kisah-kisah dengan setting Indonesia.
Beberapa judul di antaranya, Badai Laut Selatan, atau Darah Mengalir di Borobudur menunjukkan bahwa ia tidak hanya sekadar terampil menulis tetapi cukup menguasai literatur dan sejarah Indonesia.
Mengenai penambahan nama Asmaraman Sukowati di depan namanya, hal itu setelah pemerintahan Orde baru mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 240 Tahun 1967 yang menganjurkan warga keturunan asing mengganti namanya menjadi nama Indonesia.
Pada sebuah kesempatan, Kho mengatakan, meski piawai menulis cerita silat China, dia mengaku belum pernah pergi ke Negeri Tirai Bambu itu.
"Saya baru menginjakkan kaki ke China pertama kali tahun 1985, ketika saya diajak anak saya melancong ke sana. Ya, baru sekali itu," kata dia dalam wawancara dengan Harian Kompas.
Selain literatur China, buku sejarah China kuno, filsafat, buku-buku pengobatan, pernapasan, juga buku tentang ilmu kung thau, modal dan referensi utama Kho dalam mengarang cerita adalah sebuah peta China.
Dengan dua modal itulah karya-karya Kho Ping Hoo 'menguasai' fantasi para pembacanya.
Ia juga mengaku tidak bisa silat, apalagi bila dibayangkan sesuai dengan pendekar sakti yang memiliki tenaga dalam menakjubkan seperti dalam karya-karyanya.
"Walau ayah saya termasuk ahli kungfu, tapi saya hanya tahu serba sedikit sedikit, cuma jurus-jurus dasarnya saja," ungkap dia semasa hidup.
Kho mengaku, tak berambisi untuk menekuni lebih jauh tentang ilmu silat.
"Lalu buat apa kalau memiliki itu semua? Kemampuan silat hanya akan menimbulkan kekerasan. Bila kekerasan dibalas kekerasan, itu tak akan ada habisnya," ujar Kho Ping Hoo.