Intisari-online.com - Medio Mei 1998. Presiden Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun terpojok oleh situasi ekonomi dan politik yang memanas.
Akhirnya, putusan mengundurkan diri sebagai presiden Indonesia pun diambil olehnya.
Pada 20 Mei 1998, sehari sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, ia bertemu dengan Habibie di istana.
Mereka sempat berbicara tentang beberapa hal. Saat itu sudah tersebar isu bahwa Soeharto akan melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI.
“Pak Harto, bagaimana nasib saya sebagai Wakil Presiden?” tanya Habibie, seperti yang ia tulis dan ingat dalam Buku Detik-Detik Yang Menentukan (2006: 37).
Jawaban Soeharto membuat Habibie terkejut. “Nanti saja. Bisa Sabtu, Senin, atau sebulan lagi, Habibie akan meneruskan tugas sebagai Presiden.”
“Apakah Pak Harto sudah menerima surat pengunduran diri dari Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan empat belas Menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin?” tanya Habibie untuk mengalihkan pembicaraan sebelumnya yang membuatnya tidak nyaman.
Soeharto mengatakan sudah mendengar, tapi belum membahasnya. Soeharto lalu menyodorkan tangannya dan menjabat tangan Habibie.
Ia juga memberi pesan agar Habibie menjalankan tugas dengan baik dan menangani masalah Ginandjar dan teman-temannya dengan baik. Habibie menjawab, “akan saya usahakan.”
Menurut Probosutedjo dalam Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto (2013: 594),
Habibie awalnya ditanya apakah ia siap menggantikan Soeharto sebagai presiden. Habibie merasa ragu-ragu. Setelah mendengar berita para menteri mengundurkan diri, Habibie akhirnya mengatakan ia sanggup.
Sikap Habibie yang berubah-ubah ini membuat Soeharto kecewa. “Mas Harto tidak bisa mengerti, bagaimana mungkin keputusan yang sangat penting seperti ‘sanggup tidaknya’ menjadi presiden bisa berubah drastis hanya dalam hitungan hari. Belum sampai 24 jam,” kata Probosutedjo.
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR