Intisari-online.com -Para koruptor di Indonesia sangat takut dengan Artidjo Alkostar.
Ia adalah mantan Hakim Agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI yang terkenal karena sering memberatkan hukuman bagi terpidana kasus korupsi dan mengeluarkan pendapat berbeda dalam beberapa perkara besar.
Artidjo berasal dari Situbondo, Jawa Timur dan lahir pada 22 Mei 1948. Ia menyelesaikan pendidikan SMA di Asem Bagus, Situbondo.
Ia mendapatkan gelar sarjana hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada tahun 1976 dan gelar magister (LL.M.) di Universitas Northwestern, Chicago, Amerika Serikat pada tahun 2002.
Di Northwestern, Artidjo membuat disertasi tentang pengadilan hak asasi manusia dalam sistem peradilan di Indonesia.
Ia juga sempat mengikuti pelatihan pengacara hak asasi manusia di Universitas Columbia selama enam bulan.
Artidjo memulai karier hukumnya pada tahun 1976.
Awalnya, ia menjadi dosen di FH UII Yogyakarta. Pada tahun 1981, ia bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, menjadi wakil direktur (1981-1983) dan direktur (1983-1989).
Pada waktu yang bersamaan, ia bekerja selama dua tahun di Human Right Watch divisi Asia di New York.
Setelah kembali dari Amerika, ia membuka kantor hukum Artidjo Alkostar and Associates sampai tahun 2000.
Kemudian, pada tahun 2000 ia dipilih sebagai Hakim Agung Republik Indonesia.
Ketika masih menjadi pengacara, Artidjo sering menangani perkara-perkara yang berisiko tinggi, seperti kasus Komando Jihad, kasus penembakan gali atau bromocorah di Yogyakarta, kasus Santa Cruz (Timor Timur), kasus pembunuhan wartawan Bernas Muhammad Syafruddin (Udin), dan ketua tim pembela gugatan Kecurangan Pemilu 1997 di Pamekasan, Madura.
Sebagai Hakim Agung, Artidjo menjalani karier sebagai hakim agung mulai tahun 2000, dan pensiun pada 22 Mei 2018.
Selama 18 tahun bertugas, ia menyelesaikan 19.708 berkas perkara di Mahkamah Agung.
Ia menangani berbagai perkara besar, seperti kasus proyek pusat olahraga Hambalang, kasus suap impor daging, dan kasus suap ketua MK.
Artidjo menjadi perhatian publik ketika ia tidak sepakat dengan dua hakim lainnya dalam kasus mantan Presiden Soeharto dan skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra.
Kemudian juga sering memberikan vonis yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa atau putusan pengadilan tingkat pertama dan banding.
Beberapa contoh vonis Artidjo yang membuat koruptor merinding adalah:
1. Menambah hukuman mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dari delapan tahun menjadi sepuluh tahun penjara dalam kasus korupsi dana haji.
2. Menambah hukuman mantan Menteri ESDM Jero Wacik dari empat tahun menjadi delapan tahun penjara dalam kasus korupsi dana operasional kementerian.
3. Menambah hukuman mantan Ketua MK Akil Mochtar dari seumur hidup menjadi hukuman mati dalam kasus suap sengketa pilkada.
4. Menambah hukuman mantan Gubernur Riau Rusli Zainal dari empat belas tahun menjadi dua puluh tahun penjara dalam kasus korupsi izin perkebunan sawit.
Baca Juga: Bukan Orang Sembarangan Di Kepolisian, Ini Sosok Manajer Timnas Yang Ditinju Ofisial Timnas Thailand
5. Menambah hukuman mantan Bupati Buol Amran Batalipu dari lima belas tahun menjadi dua puluh tahun penjara dalam kasus suap sengketa pilkada.
Artidjo memiliki alasan kenapa ia sering memutuskan untuk memberatkan hukuman koruptor. Menurutnya, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merugikan negara dan rakyat.
Ia juga menganggap bahwa para koruptor tidak pantas mendapatkan keringanan karena mereka tidak menunjukkan rasa penyesalan atau kerjasama dengan penegak hukum.
Artidjo juga mengkritik sistem peradilan Indonesia yang masih rentan dengan praktik suap-menyuap antara hakim dan terdakwa atau pengacara.
Ia berharap agar para hakim bisa menjaga integritas dan profesionalisme mereka dalam menjalankan tugasnya.
Pada akhir hayatnya, Artidjo menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023.
Ia dipilih oleh Presiden Joko Widodo untuk mengawasi kinerja lembaga antikorupsi tersebut. Ia meninggal dunia pada 28 Februari 2021 karena sakit.
Artidjo Alkostar adalah sosok yang patut dihormati dan diteladani oleh semua pihak yang terlibat dalam penegakan hukum di Indonesia.
Ia telah memberikan kontribusi besar bagi pemberantasan korupsi dan pembelaan hak asasi manusia di negeri ini.