Diceritakan di dalamnya, pada tahun 1600-an Raden Mas Cebolang tengah singgah di pedepokan Pengeran Tembayat yang saat ini berada di wilayah Klaten.
Di sana Pengeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama Ki Anom dengan beragam makanan dan salah satunya adalah gudeg.
Gudeg sejatinya bukanlah makanan yang berasal dari lingkungan kerajaan, melainkan dari masyarakat.
Meskipun demikian, untuk menjadi makanan tradisional yang setenar saat ini, perlu proses yang panjang.
Murdijati Gardjito mengungkapkan karena gudeg perlu waktu memasak yang lama, pada awal abad 19 di Yogyakarta sendiri belum begitu banyak orang berjualan gudeg.
"Saking istimewanya, karena proses memasaknya yang lama dan pada waktu itu belum banyak yang berjualan, gudeg sering dijadikan makanan nadzar, atau wujud rasa sukur. Seperti jika anak sedang sakit, akan diajak makan gudeg jika nanti telah sembuh," cerita Murdijati Gardjito.
Kemudian pada tahun 1940-an bersamaan dengan ide Presiden Soekarno membangun universitas di Yogyakarta (UGM), gudeg mulai berkembang dan banyak dikenal masyarakat.
Dari sinilah gudeg kering juga mulai hadir.
Keinginan para mahasiswa luar daerah yang ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh menghadirkan gudeg kering yang dimasak di dalam kendil agar lebih tahan lama.
Pembangunan kampus UGM di daerah Bulaksumur, juga memunculkan kampung sentra gudeg Mbarek yang berdekatan.
"Karena banyaknya mahasiswa UGM dan mereka perlu makan, maka hadir kampung Mbarek yang di sana banyak penjual gudeg. Keberadaan kampung ini semakin membuat gudeg kering berkembang dengan baik," ungkap Murdijati Gardjito.
Seiring dengan berjalannya waktu, sektor wisata juga semakin berkembang.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR