Ternyata Solo Sudah Jadi Pusat Perdagangan Nusantara Sejak Zaman Mataram Islam, Ini Buktinya

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Solo disebut sudah menjadi pusat perdagangan Nusantara sejak zaman Mataram Islam. Berbagai komoditas dijual di kota yang berada di tepi Bengawan Solo ini.
Solo disebut sudah menjadi pusat perdagangan Nusantara sejak zaman Mataram Islam. Berbagai komoditas dijual di kota yang berada di tepi Bengawan Solo ini.

Solo disebut sudah menjadi pusat perdagangan Nusantara sejak zaman Mataram Islam. Berbagai komoditas dijual di kota yang berada di tepi Bengawan Solo ini.

Intisari-Online.com -Benarkah Solo sudah jadi pusat perdagangan Nusantara sejak zaman Mataram Islam atau bahkan sebelumnya?

Mengutip situs Surakarta.go.id, Surakarta alias Solo sudah menjadi pusat berdagangan lintas wilayah sejak zaman dulu.

Terlebih karena kondisi geografis Solo yang dilewati sungai besar, hal ini membuat banyak kapal besar melintasinya.

Kapal-kapal besar itu membawa komoditas penting ke wilayah yang dulu masuk wilayah kerajaan Pajang itu.

Salah satu komoditas yang menonjol di Solo sejak zaman Mataram Islam, bahkan sejak zaman Pajang, adalah batik.

Tapi tak hanya batik,kapas, benang dan kain tenun juga menjadi komoditas perdagangan di Solo waktu itu.

Solo juga menjadi pusat perdagangan garam, kopi, dan rempah-rempah.

Terkait batik, ia tak bisa lepas dari sosok Kyai Ageng Henis, yang merupakan kakek dari Panembahan Senopati pendiri Mataram Islam.

Peninggalan Ki Ageng Henis yang paling terlihat adalah Kampung Laweyan menjadi pusat batik di Solo.

Tak hanya batik, Solo juga menjadi pusat perdagangan rempah-rempah.

Kapal-kapal pengangkut garam dari Gresik juga banyak yang singgah di Solo.

Selain itu,Solo juga dikenal sebagai sentra penghasil kopi di Jawa Tengah.

Di tahun 1800-an, kopi dari Solo bisa terdistribusi dengan baik melalui jalur sungai ke berbagai daerah.

Bersamaan dengan kopi, Solo juga penghasil beras dan minyak kelapa. Kedua komoditas ini sering dikirim ke berbagai daerah di luar Solo.

Kulit kerbau dan sapi juga menjadi salah satu komoditas yang banyak dikirim ke berbagai daerah melalui jalur transportasi sungai.

Panembahan Senopati pencipta batik parang

Selain sebagai pendiri Mataram Islam, Panembahan Senopati juga dikenal sebagai pencipta batik parang atau lereng.

Nama 'parang' sendiri berasal dari kata pereng yang memiliki makna lereng atau batu karang.

Motif ini tercipta ketika Panembahan Senopati saat mengamati gerak ombak laut selatan yang menerpa karang.

Diyakini, kala itu Panembahan Senopati bertemu penguasa Laut Kidul atau Nyi Roro Kidul.

Maka, motif lereng pun identik dengan leter ‘S’ yang diambil dari ombak samudra, jalinan motif yang tidak pernah putus pada motif parang menggambarkan hubungan yang terus tersambung.

Garis lurus diagonal pada batik parang melambangkan rasa hormat, keteladanan serta ketaatan pada nilai-nilai kebenaran.

Motif batik juga merupakan simbol keteguhan seorang pemimpin.

Menurut budayawan Jawa dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo Tundjung Wahadi Sutirto, maka motif batik parang, merupakan batik tertua yang ada karena diciptakan oleh sang pendiri kerajaan Mataram Islam.

Hal itu yang membuat motif ini menjadi khas milik keluarga kerajaan.

Maka kalau ada larangan menggunakan motif ini dalam acara pernikahan Kaesang-Erina kemarin, kata Tundjung, bukan larangan dalam arti hukum positif.

"Bukan berarti kalau melanggarnya kena hukuman, bukan itu. Tapi ada etika dalam budaya Jawa, " kata Tundjung saat acara Breaking News di Kompas TV, Minggu (11/12/2022).

Artikel Terkait