Malalui Ungguh-ungguh Dalam Bahasa Jawa, Sultan Agung Ingin Melanggengkan Kekuasaan Mataram Islam

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sultan Agung ingin Mataram Islam jadi penguasa di seantero Jawa. Salah satunya caranya adalah menerapkan politik bahasa Jawa.
Sultan Agung ingin Mataram Islam jadi penguasa di seantero Jawa. Salah satunya caranya adalah menerapkan politik bahasa Jawa.

Sultan Agung ingin Mataram Islam jadi penguasa di seantero Jawa. Salah satunya caranya adalah menerapkan politik bahasa Jawa.

Intisari-Online.com -Berbagai upaya dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan Mataram Islam oleh Sultan Agung.

Salah satunya menggunakan politik bahasa.

Diciptakannya unggah-ungguh bahasa Jawa konon katanya ditujukan untuk melanggengkan kekuasaannya.

Mataram awalnya hanya sebuah fasal dari kerajaan Pajang.

Setelah resmi jadi kerajaan Indonesia, Mataram melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan hegemoninya.

Puncak kekuasaan Mataram Islam terjadi di masa Sultan Agung.

Sultan Agung ingin Mataram Islam harus ungguh di atas pesaing-pesaingnya.

Dan unggah-ungguh dalam bahasa Jawa menjadi salah satu senjatanya.

Adanya bahasa Jawa Kromo dan bahasa Jawa Ngoko disebut sebagai alat untuk menciptakan jarak sosial antara Mataram Islam dan wilayah-wilayah lainnya.

Sebelum zaman Sultan Agung, bahasa Jawa tidak mengenal strata.

Ketika itu, baik priyayi maupun rakyat jelata sama-sama menggunakan bahasa yang sama, setara.

Mereka menggunakan bahawa Jawa kuno.

Ini adalah bahasa campuran antara bahasa asli dengan bahasa sansekerta.

Dengan bahasa Jawa ngoko-krama, penguasa Mataram berusaha menanamkan pengaruhnya melalui jalan kebudayaan.

Adanya jarak sosial sebagai hasil dari eksistensi bahasa Jawa ngoko-krama bertujuan untuk mengembangkan kekuasaan.

Jarak sosial akan memudahkan Mataram melakukan konsolidasi terkait dengan kedudukannya.

Sebab tata bahasa ngoko-krama juga menjadi norma pergaulan di masyarakat.

Juga berfungsi sebagai tata unggah-ungguh sekaligus untuk menyatakan rasa hormat dan keakraban.

Muncul situasi sosial yang dilekati dengan norma kesopanan.

Pemakaian ngoko-krama sebagai alat politik kekuasaan tidak lepas dari kesadaran historis sosial, bahwa pendiri dinasti Mataram berasal dari kalangan petani.

Dalam konsep sosial Hindu (kasta), dengan mengubah Mataram yang semula wilayah kabupaten menjadi kerajaan, pendiri dinasti Mataram telah mengalami peningkatan kelas sosial.

“Dinasti Mataram mengalami mobilitas dari Waisya ke Ksatria,” demikian seperti dikutip dari Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapan oleh raja Mataram (1987).

Seiring dengan munculnya unggah-ungguh bahasa Jawa ngoko-krama, sastra babad di masa Mataram juga berkembang pesat.

Babad ditulis oleh para pujangga keraton.

Penulisan babad dengan memakai bahasa Jawa halus bertujuan untuk memuliakan raja yang memerintah sekaligus menghormati kalangan atas.

Sultan Agung diketahui memiliki peranan penting dalam pengembangan sastra babad.

Pada tahun 1626 Masehi, ia memerintahkan penulisan babad.

Perintah itu kembali muncul pada 1633 Masehi, yakni setelah kegagalannya menyerang Batavia (Jakarta) pada 1628 dan 1629.

Sultan Agung sadar betapa sastra babad dapat dimanfaatkan sebagai alat politik kekuasaan.

Dan itu semua demi untuk melanggengkan kekuasaan Dinasti Mataram.

Artikel Terkait