Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I.
Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara.
Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu.
VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.
Licinnya Sambernyawa menarik perhatian Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang.
Dia mendesak Sunan Pakubuwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian.
Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya.
Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC.
Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya.
Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.
Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757.
Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri.
Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya.
Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo.
Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkunegara, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Sambernyawa diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri.
Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil".
Bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3".
Mangkunegara mendapatkan wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu.
Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi.
Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR