Selalu Anggap Mataram Islam Penjajah Bagi Madura, Pangeran Trunojoyo Pun Mantap Memberontak

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Penulis

Pangeran Trunojoyo dari Madura selalu menganggap bahwa Mataram Islam adalah penjajah bagi tanahnya. Dia memberontak di masa Amangkurat I.
Pangeran Trunojoyo dari Madura selalu menganggap bahwa Mataram Islam adalah penjajah bagi tanahnya. Dia memberontak di masa Amangkurat I.

Pangeran Trunojoyo dari Madura selalu menganggap bahwa Mataram Islam adalah penjajah bagi tanahnya. Dia memberontak di masa Amangkurat I.

Intisari-Online.com -Ada beberapa alasan yang membuat Pangeran Trunojoyo, bangsawan dari Madura, memberontak kepada Mataram Islam.

Salah satu satu yang terkuat adalah anggapan bahwa Mataram Islam adalah penjajah bagi Madura.

Seperti apa ceritanya?

Pemberontakan Raden Trunojoyo terjadi pada 1670-an, ketika Mataram Islam dipimpin oleb Amangkurat I.

Sejak naik takhta pada 1646, Amangkurat I tidak segan membunuh siapa pun yang dianggap tidak patuh dan berusaha merongrong kekuasaannya.

Dia disebut telahmembantai sekitar 5.000 hingga 6.000 orang yang terdiri dari pria, wanita, dan anak-anak.

Di antara korbannya tersebut adalah ulama dan bangsawan, termasuk adiknya yang bernama Pangeran Alit dan keluarga mertuanya sendiri.

Selain itu, Amangkurat I juga dibenci karena sangat lunak terhadap Belanda.

Suatu ketika, Amangkurat I terlibat konflik dengan putranya, Raden Mas Rahmat atau Pangeran Adipati Anom.

Dia merasa cemas karena statusnya sebagai putra mahkota akan dialihkan ke saudaranya.

Pangeran Adipati Anom kemudian menjalin kesepakatan dengan Pangeran Trunojoyo untuk mengkudeta ayahnya.

Pangeran Trunojoyo sebenarnya masih termasuk keturunan Sultan Agung.

Akan tetapi, ia selalu menganggap penguasaan Mataram atas Madura yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung adalah sebuah bentuk penjajahan.

Melihat perangai buruk Amangkurat I, niat Trunojoyo untuk memberontak pun semakin besar.

Oleh karena itu, ketika mendengar tawaran Pangeran Adipati Anom, Trunojoyo pun dengan senang menerimanya.

Terlebih lagi, Pangeran Adipati Anom berjanji akan memberikan sebagian besar wilayah Madura apabila ia berhasil merebut takhta Mataram.

Selain Pangeran Adipati Anom, Trunojoyo bekerjasama dengan banyak pihak untuk melawan Amangkurat I.

Termasuk rakyat dan pejabat Mataram, masyarakat Madura, hingga orang-orang Makassar yang dipimpin oleh Karaeng Galesong.

Orang-orang Makassar ini juga menaruh dendam terhadap Amangkurat I yang pernah melecehkan Sultan Hasanuddin.

Dalam perkembangannya, pasukan Trunojoyo pun semakin kuat karena dukungan berbagai pihak yang merasa sakit hati dengan sultan Mataram.

Gabungan pasukan Trunojoyo yang berjumlah sekitar 9.000 orang berhasil merebut sebagian besar pantai utara Jawa.

Pada September 1676, Karaeng Galesong mempimpin pasukan untuk merebut Surabaya hingga akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara Mataram di Gegodog, sebelah timur Tuban.

Meski jumlah tentara Mataram lebih banyak, para pemberontak berhasil memenangkan pertempuran.

Puncak kemenangan Trunojoyo diraih pada pertengahan 1677, saat dirinya berhasil menduduki ibu kota Mataram di Plered hingga memaksa Amangkurat I yang sedang sakit menyingkir ke arah Cirebon untuk meminta bantuan kepada VOC.

Dalam pelariannya, Amangkurat I meninggal dan Pangeran Adipati Anom menjadi panik.

Setelah kemenangan pada pemberontak di Plered, Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Trunojoyo, yang sebelumnya bersekutu, justru terlibat konflik.

Hal ini membuat Pangeran Trunojoyo tidak menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Adipati Anom, yang naik takhta dengan gelar Amangkurat II, seperti kesepakatan sebelumnya.

Akibatnya, Pangeran Adipati Anom memilih untuk beralih ke pihak ayahnya dan meminta bantuan VOC untuk memadamkan perang Trunojoyo.

Meski syarat yang diberikan VOC atas bantuannya sangat merugikan Mataram, Amangkurat II tetap menyetujuinya.

Pasukan VOC yang didukung oleh tentara Arung Palakka dari Bone pun segera menyerbu Trunojoyo.

Pertempuran berakhir ketika Trunojoyo tertangkap di Kediri pada 1679 dan ditusuk oleh Amangkurat II menggunakan keris hingga tewas pada 1680.

Artikel Terkait