Capek-capek Dibesarkan Sultan Agung, Mataram Islam Pecah Karena Ambisi Anak-cucunya

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Penulis

Setelah Sultang Agung mangkat, kondisi Mataram Islam tak baik-baik saja. Puncaknya adalah Perjanjian Giyanti, mengakibatkan kesultanan pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Setelah Sultang Agung mangkat, kondisi Mataram Islam tak baik-baik saja. Puncaknya adalah Perjanjian Giyanti, mengakibatkan kesultanan pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Setelah Sultang Agung mangkat, kondisi Mataram Islam tak baik-baik saja. Puncaknya adalah Perjanjian Giyanti, mengakibatkan kesultanan pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Intisari-Online.com - Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya ketika Sultan Agung menjadi raja.

Tapi pencapaiannya itu seolah tak ada artinya karena anak-cucunya saling klaim kekuasaan hingga menimbulkan perang saudara.

Puncaknya, melalui Perjanjian Giyanti, Mataram Islam akhirnya pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Bagaimana semua itu terjadi?

Perjanjian Giyanti merupakan peristiwa sejarah berupa perjanjian antara VOC dengan pihak Kerajaan Mataram Islam yang diwakili oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

Perjanjian Giyanti berlangsung pada 13 Februari 1755 yang ditandatangani di Desa Giyanti yang saat ini masuk wilayah Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Mataram Peristiwa ini menjadi penyebab pecahnya wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

Perjanjian Giyanti juga dikenal sebagai babak baru dari peradaban kerajaan-kerajan di Pulau Jawa.

Perjanjian Giyanti berawal dari perpecahan akibat konflik yang telah timbul antar keluarga kerajaan Mataram Islam.

Konflik tersebut melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.

Hal ini terkait diangkatnya pewaris takhta Mataram Islam yaitu Pangeran Prabusuyasa dengan bergelar Pakubuwana II yaitu anak dari putra dari Amangkurat IV dan adik dari Pangeran Arya Mangkunegara.

Namun Raden Said sebagai keponakan meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki oleh pamannya sendiri dengan alasan bahwa ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV.

Sementara alasan tahta jatuh ke tangan Pakubuwana II adalah karena Pangeran Arya Mangkunegara dikenal sering menentang kebijakan VOC sehingga harus diasingkan ke Srilangka hingga meninggal dunia.

Selain itu, pertikaian juga dipicu oleh keputusan Pakubuwana II memindahkan ibu kota kerajaan dari dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745

Keraton Kartasura dipindahkan karena hancur akibat adanya pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 1742.

Hal ini semakin memperkuat Raden Mas Said ingin merebut tahta Mataram Islam dari pamannya Pakubuwana II yang bekerjasama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut tahta Mataram Islam dari Pakubuwana II yang dibantu oleh VOC.

Maka ketika Pakubuwana II wafat pada 20 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi memanfaatkan kekosongan pemerintahan untuk mengangkat dirinya sebagai raja baru Mataram Islam.

VOC tidak mau mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa dari Mataram Islam karena sebelum Pakubuwana II wafat ia memberikan wewenang pengangkatan raja baru kepada VOC.

Situasi memanas ketika VOC mengangkat putra Pakubuwana II, Raden Mas Soerjadi menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III.

Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kemudian kembali melancarkan serangan pada VOC dan Pakubuwana III.

Untuk mengatasi serangan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, VOC kemudian menyusun siasat adu domba antara kedua tokoh tersebut.

VOC mengirimkan utusan khusus untuk menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati terhadap Pangeran Mangkubumi yang bisa mengkhianatinya.

Politik adu domba yang dilancarkan VOC membuahkan hasil, karena pada 1752 terjadi perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk berunding dengan Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwana III.

Pada 22-23 September 1754 VOC mengadakan perundingan dengan mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

Tujuannya adalah untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, serta kerjasama VOC dengan kesultanan.

Perundingan ini akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.

Ini adalah beberapa poin dari isi Perjanjian Giyanti:

1. Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah dengan separuh dari kerajaan Mataram.

Hak kekuasan diwariskan secara turun-temurun.

2. Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.

3. Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur.

Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.

4. Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.

5. Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.

6. Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746.

Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.

7. Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.

8. Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.

9. Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.

Perjanjian Giyanti memberikan dampak besar dari keberlangsungan pemerintahan pascaterbelahnya Mataram Islam.

Salah satunya adalah sebagai bukti berhasilnya politik adu domba yang dilakukan oleh VOC.

Selain itu, berikut adalah beberapa poin dari dampak Perjanjian Giyanti:

1. Terbelahnya wilayah Mataram Islam menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

2. Wilayah Kerajaan Mataram Islam di sebelah timur Sungai Opak (yang mengalir dekat Candi Prambanan) dikuasai oleh Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin Susuhunan Pakubuwana III.

3. Sedangkan wilayah Kerajaan Mataram Islam di sebelah barat Sungai Opak dikuasai oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I

4. Riwayat Kerajaan Mataram Islam telah berakhir baik secara de facto maupun de jure.

Itulah bagaimana Perjanjian Giyanti terjadi sebagai solusi atas ambisi keturunan-keturunan Sultan Agung yang saling klaim tentang siapa yang paling berhak meneruskan takhta Mataram Islam.

Artikel Terkait