Perang Suksesi Jawa II, konflik paling berdarah dalam tubuh Mataram Islam. Raja Amangkurat IV versus paman-adiknya.
Intisari-Online.com -Semua berawal dari sikap Amangkurat IV, raja Mataram Islam saat itu, yang sangat condong kepada VOC Belanda.
Perang Suksesi Jawa II disebut-sebut sebagai gejolak terbesar dalam tubuh Mataram Islam selama abad 18.
Perang Takhta II terjadi antara 1719 hingga 1723.
Yang terlibat adalah Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya, Pangeran Arya Mataram, dan Pangeran Arya Dipanagara.
Amangkurat IV yang dibantu oleh VOC memenangkan pertempuran dan berhasil mempertahankan takhta Mataram Islam.
Pengangkatan Amangkurat IV sebagai raja Mataram Islam sendiri tidak mendapat dukungan dari paman dan adik-adiknya.
Lebih-lebih karena sikapnya yang sangat pro-VOC.
VOC menyebut Amangkurat IV sebagai penguasa yang dimusuhi oleh hampir seluruh rakyat Tanah Jawa.
Hal itu karena setelah kendali Kerajaan Mataram Islam dipegang Amangkurat IV, rakyatnya terpecah ke dalam banyak golongan yang menentang kedudukan raja.
Konflik bermula saat Amangkrat IV menurunkan pangkat serta mengambil wilayah kekuasaan dua adiknya, yaitu Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya, yang dirasa terlalu besar.
Pada Juni 1719, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya yang sakit hati terhadap tindakan kakaknya melancarkan serangan ke Keraton Kartasura.
Mereka didukung oleh putra-putra Untung Surapati, kalangan ulama di istana, dan mendapatkan simpati dari sang ibu, Ratu Pakubuwono.
Tapi serangan mereka dapat dipukul mundur oleh pasukan VOC.
Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya pun mundur ke Yogyakarta, tepatnya di Kartasari yang pernah menjadi kedudukan Sultan Agung.
Di situlah Pangeran Blitar dinobatkan sebagai raja bergelar Sultan Ibnu Mustapa Pakubuwana Senapati Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
Pangeran Purbaya diangkat menjadi panglima perang bergelar Panembahan Purbaya.
Sultan Ibnu Mustapa terus memberontak terhadap Amangkurat IV, tetapi dengan cara berbeda.
Pemberontakan tidak dilakukan dengan serangan, tetapi dengan tidak menyerahkan upeti ataupun menghadap Amangkurat IV, dan melakukan perluasan wilayah.
Adik tiri Amangkurat IV, yakni Pangeran Dipanagara, juga memberontak.
Pangeran Dipanagara pada masa pemerintahan Pakubuwono I ditugaskan ke daerah Jawa Timur dan dinobatkan sebagai raja bawahan Mataram bergelar Panembahan Herucakra dengan kedudukan di Madiun.
Selain dari adik-adiknya, Amangkurat IV juga menghadapi penolakan dari pamannya, Arya Mataram.
Arya Mataram, yang awalnya tidak ambil tindakan, akhirnya memberontak dengan meninggalkan istana Kartasura menuju pesisir utara Jawa.
Di daerah Pati, Arya Mataram pun menobatkan diri menjadi raja dengan nama Sunan Kuning.
Dengan begitu, rakyat Mataram Islam terbagi menjadi empat kubu, yakni kubu Amangkurat IV, kubu Pangeran Blitar-Pangeran Purbaya, kubu Pangeran Dipanagara, dan kubu Arya Mataram, yang menandai dimulainya Perang Takhta Jawa II.
Satu-satunya cara Amangkurat IV mempertahankan takhtanya adalah dengan meminta bantuan kepada VOC.
Pasukan VOC yang ada di Semarang dipanggil untuk mengamankan Amangkurat IV di Kartasura.
Setelah strategi disusun, sebagian pasukan VOC dan prajurit dari Kartasura pertama-tama ditugaskan untuk menumpas Arya Mataram.
Arya Mataram menyerah setelah dijepit oleh pasukan VOC di Jepara dan akhirnya dibunuh.
Setelah itu, pasukan gabungan VOC dan Kartasura ditugaskan untuk menyerang kedudukan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya di Kartasari.
Karena kekuatan yang tidak seimbang, keraton Kartasari hancur dan beberapa pejabatnya dihabisi pasukan gabungan VOC dan Kartasura.
Hal itu membuat Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya melarikan diri ke Jawa Timur.
Selama beberapa bulan berikutnya, dua pangeran ini terus diburu oleh VOC sehingga harus berpindah-pindah tempat di pedalaman Jawa Timur.
Dalam pengejaran, Pangeran Blitar jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 1721.
Pengejaran terhadap Pangeran Purbaya dilanjutkan VOC, yang juga mengiriminya surat.
Dalam surat tersebut VOC meminta agar Pangeran Purbaya menyerah karena peperangan tidak akan ada ujungnya.
Pangeran Purbaya mau kembali ke Kartasura, asalkan seluruh punggawanya dan Pangeran Dipanagara diampuni.
Pada 1723, Perang Takhta Jawa II berakhir dengan pengasingan Pangeran Dipanagara ke Tanjung Harapan karena terbukti melakukan pemberontakan.
Sementara itu, Pangeran Purbaya diizinkan hidup di Tangerang di bawah pengawasan VOC.
Keputusan itu merupakan strategi VOC, yang mengamankan Pangeran Purbaya sebagai cadangan untuk menggantikan Amangkurat IV apabila hubungan mereka memburuk.
VOC memandang Pangeran Purbaya memiliki legitimasi yang sama dengan Amangkurat IV.
Dengan bantuan dari VOC, Amangkurat IV berhasil memenangkan Perang Takhta Jawa II sekaligus mempertahankan takhta Mataram Islam.