Ia baru bisa mengerjakan batik pesanan orang setelah urusan di toko rampung. Itu pun tidak setiap hari, hanya Jumat malam dan Sabtu malam.
“Saya tak mungkin meninggalkan toko. Suami saya ndak bisa sendirian. Di sela-sela menjaga toko, tiap hari saya juga harus mengantarkan anak berangkat sekolah. Jika ada yang tanya, milih mana batik atau keluarga? Maka saya akan menjawab yang kedua,” ujarnya tegas.
Kondisi yang tak menentu seperti ini beberapa kali membuat Widianti berpikir untuk berhenti sama sekali dari bisnis batik.
Beberapa kali dia memberi tahu para pelanggannya untuk menghentikan pemesanan.
Tapi semua itu tak mungkin terjadi. Ibaratnya, hidup segan mati tak hendak.
Widianti tak mungkin menghentikan tradisi batik yang sudah turun-temurun.
Banyak pertimbangan yang menggelayut di pundaknya jika usaha itu sampai berhenti.
Salah satu pertimbangannya adalah amanat keluarga besarnya.
Yang tak kalah penting, urusannya dengan para pelanggan.
Dia tak mungkin begitu saja memutus hubungan baik yang telah dirajut dengan para relasi, yang tak hanya sekadar pembeli, tapi juga teman diskusi.
Beberapa pelanggannya juga menyarankan agar Widianti membuat produk batik sampingan, yang lebih komersial, sebagai penopang agar batik Oey tetap hidup.
Alih-alih mengiyakian, Widianti dengan tegas menolaknya.
Menjaga kekhasan batik Oey tetaplah yang utama baginya, apa pun caranya. (Intisari, 2013)
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR