Widianti Widjaya adalah genderasi ketiga batik Oey Soe Tjoen. Dia kekeh mempertahankan tradisi dan kekhasan warisan kakeknya.
Intisari-Online.com -Ini adalah tentang menjaga amanat, ini adalah tentang menjaga tradisi.
Itulah yang dilakukan WidiantiWidjaya untuk terus menjaga kekhasan batik Oey Soe Tjoen.
Widianti menerima amanat batik Oey Soe Tjoen dari ayahnya, Muljadi Widjaja, dalam keadaan compangcamping.
Ketika itu, dari150 tenaga kerja yang ada di zaman kakeknya, tersisa 60 orang saja di zaman ayahnya.
Kondisi mulai memburuk pada periode awal tahun 2000.
Banyaknya produksi batik di Pekalongan, termasuk di antaranya batik printing, menjadi masalah baru bagi Muljadi.
Ketika 2002 Muljadi meninggal dunia, warisan keluarga ini diserahkan sepenuhnya kepada Widianti yang ketika itu baru dua tahun lulus kuliah.
Bebannya tidak ringan, sebab harus melestarikan mata pencaharian keluarga selama dua generasi sebelumnya.
Wanita berkulit kuning langsat itu harus menjaga tradisi batik warisan keluarga.
Keitka itu, Widianti juga harus meredam isu yang tersebar di Jakarta, bahwa batik Oey sudah tutup seiring kepergian ayahnya.
Di tengah upaya menghalau masalah tersebut, Batik Oey terkena dampak dari Bom Bali 2002.
Peristiwa itu secara tidak langsung telah membunuh ruang edar Batik Oey. Maklum, hampir sebagian besar pelanggan berasal dari luar negeri. Seluruh pesanan yang telah diproduksi, batal. Akhirnya batik-batik itu menumpuk di gudang, di belakang rumah Widianti.
Tak berhenti sampai di situ, beberapa waktu kemudian terjadi kelangkaan minyak tanah.
Setelah melalui pergulatan batin yang panjang, Widianti akhirnya memutuskan untuk mengistirahatkan Batik Oey untuk sementara waktu.
“Sekitar 30 pembatik yang ada sejak zaman Papa saya pulangkan. Saya hanya memakai 12-15 orang saja untuk menjaga kebutuhan produksi batik Oey. Tapi secara umum, selama kurang lebih setahun, saya tidak menerima pesanan batik dari luar,” kenang Widianti tentang masa-masa sulit itu.
Lalu tiba tahun 2004.
Ketika itu datangseorang pencinta batik dari Jepang.
Tidak ada angin tidak hujan, tiba-tiba ia memesan motif batik hokokai yang didapatnya dari sebuah museum di Jepang.
Syaratnya hanya satu, tak peduli bagus atau tidak, harus menyerupai motif yang dia inginkan.
Widianti yang waktu memang sedang senggang, menyanggupi permintaan si orang Jepang yang baik hati itu.
Seperti sebelumsebelumnya, Widianti meminta tenggat pembuatan kurang lebih tiga tahun.
Orang Jepang tersebut menyanggupi.
Belum sampai setahun, si orang Jepang sudah datang lagi. Padahal batik yang dia pesan sama sekali belum beres.
Tapi bukan itu tujuan si Jepang, kali ini lebih gila, dia membawa empat motif yang berbeda satu dengan yang lain.
Karena merasa terlalu berat, maka Widianti hanya menyanggupi dua saja dari motifmotif tersebut. Lagi-lagi pencinta batik dari Jepang itu menyanggupi.
Di tengah usahanya menyanggupi pesanan dari Jepang, datanglah tamu dari Singapura.
Karena tertarik dengan gambar karya Widianti, sang tamu ikut-ikutan memesan apa yang dipesan oleh si orang Jepang.
Entah karena apa, setelah itu tiba-tiba banyak pencinta batik yang memesan Batik Oey.
Akhirnya, pada tahun itu juga, Widianti memberanikan diri untuk kembali membuka permintaan pembuatan batik.
Sempat ingin berhenti
Mengembalikan kejayaan batik Oey Soe Tjoen merupakan salah satu harapan Widianti suatu saat nanti.
Baginya, membesarkan batik sama halnya dengan membesarkan nama keluarga Oey.
Tapi tentu saja itu tidak mudah.
Persaingan industri batik, serta minimnya pembatik berkualitas, menjadi halangan tersendiri bagi Widianti.
Belum lagi, waktunya banyak dicurahkan untuk kelangsungan tokonya.
Ia baru bisa mengerjakan batik pesanan orang setelah urusan di toko rampung. Itu pun tidak setiap hari, hanya Jumat malam dan Sabtu malam.
“Saya tak mungkin meninggalkan toko. Suami saya ndak bisa sendirian. Di sela-sela menjaga toko, tiap hari saya juga harus mengantarkan anak berangkat sekolah. Jika ada yang tanya, milih mana batik atau keluarga? Maka saya akan menjawab yang kedua,” ujarnya tegas.
Kondisi yang tak menentu seperti ini beberapa kali membuat Widianti berpikir untuk berhenti sama sekali dari bisnis batik.
Beberapa kali dia memberi tahu para pelanggannya untuk menghentikan pemesanan.
Tapi semua itu tak mungkin terjadi. Ibaratnya, hidup segan mati tak hendak.
Widianti tak mungkin menghentikan tradisi batik yang sudah turun-temurun.
Banyak pertimbangan yang menggelayut di pundaknya jika usaha itu sampai berhenti.
Salah satu pertimbangannya adalah amanat keluarga besarnya.
Yang tak kalah penting, urusannya dengan para pelanggan.
Dia tak mungkin begitu saja memutus hubungan baik yang telah dirajut dengan para relasi, yang tak hanya sekadar pembeli, tapi juga teman diskusi.
Beberapa pelanggannya juga menyarankan agar Widianti membuat produk batik sampingan, yang lebih komersial, sebagai penopang agar batik Oey tetap hidup.
Alih-alih mengiyakian, Widianti dengan tegas menolaknya.
Menjaga kekhasan batik Oey tetaplah yang utama baginya, apa pun caranya. (Intisari, 2013)