Intisari-online.com - Maluku Tengah adalah salah satu kabupaten di Provinsi Maluku yang memiliki berbagai tradisi unik dan menarik.
Salah satunya adalah tradisi pukul sapu, yang juga dikenal dengan nama Baku Pukul Manyapu.
Tradisi ini merupakan atraksi yang menampilkan keberanian dan persaudaraan masyarakat Maluku Tengah dengan menggunakan sapu lidi sebagai senjata.
Pengertian Tradisi Pukul Sapu
Tradisi pukul sapu adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Morela dan Desa Mamala, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah.
Tradisi ini berlangsung setiap 7 Syawal (penanggalan Islam) atau sekitar sepekan setelah Idul Fitri.
Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-18 dan diciptakan oleh seorang tokoh agama Islam dari Maluku bernama Imam Tuni.
Tradisi pukul sapu dilakukan sebagai peringatan atas perjuangan Kapitan Tulukabessy dan pasukannya yang bertempur melawan penjajah Portugis dan VOC pada abad ke-16 di tanah Maluku.
Saat itu, pasukan Tulukabessy kalah dalam pertempuran untuk mempertahankan Benteng Kapaha.
Sebagai tanda kekalahan, mereka saling mencambuk dengan sapu lidi hingga berdarah.
Tradisi pukul sapu juga dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Indra, dewa perang dalam mitologi Hindu, serta para leluhur yang telah berjasa bagi masyarakat Maluku Tengah.
Baca Juga: Termasuk Festival Lopis Raksasa, Inilah Tradisi Syawalan di Pekalongan
Tradisi ini juga merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah, yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Morela dan Desa Mamala.
Proses Pelaksanaan Tradisi Pukul Sapu
Tradisi pukul sapu melibatkan 40 orang pemuda laki-laki yang sudah dewasa dan berasal dari Desa Morela dan Desa Mamala.
Mereka harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti tidak sedang sakit, tidak sedang berduka cita, tidak sedang berhutang, dan tidak sedang melakukan pelanggaran adat.
Mereka juga harus melakukan persiapan fisik dan mental sebelum mengikuti tradisi ini.
Mereka harus menjalani ritual-ritual seperti mandi suci, puasa, meditasi, dan doa.
Mereka juga harus mempersiapkan properti yang dibutuhkan, seperti sapu lidi yang diambil dari pohon enau dengan panjang sekitar 1,5 meter, perisai dari rotan, kain tenun khas Desa Morela dan Desa Mamala (Pegringsingan), dan ikat kepala (Udeng).
Tradisi pukul sapu dimulai dengan acara mengelilingi desa sambil membawa sesaji sebagai bentuk memohon keselamatan dan kesuksesan kepada Dewa Indra dan para leluhur.
Setelah itu, peserta berkumpul di lapangan untuk melakukan ritual minum tuak (arak) yang dituang ke daun pisang sebagai gelasnya.
Peserta kemudian saling menuangkan tuak ke daun pisang peserta lain sampai dikumpulkan menjadi satu dan dibuang ke area lapangan.
Tujuan dari ritual ini adalah untuk menunjukkan rasa persaudaraan dan kesetaraan antara peserta.
Baca Juga: Telingaan Aruu, Tradisi Memanjangkan Telinga yang Mulai Punah di Suku Dayak
Setelah ritual minum tuak selesai, barulah tradisi pukul sapu dimulai.
Seorang pemimpin adat akan memberikan aba-aba kepada dua peserta yang bersiap-siap untuk bertarung.
Peserta akan saling berhadapan dengan sapu lidi di tangan kanan dan perisai di tangan kiri.
Seperti layaknya pertandingan, tradisi ini juga menggunakan wasit sebagai penengah yang berdiri di antara dua pria yang berperang.
Kemudian saat dimulai kedua peserta akan mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mulai saling menyerang.