Ritual ini dilakukan dengan menusukan bambu di mezbah atau mazbah (tempat persembahan) yang berada di tengah kampung.
Mezbah ini tersusun atas bebatuan dan merupakan tempat dilaksanakan ritual.
Selama prosesi adat, semua masyarakat akan melakukan tarian lego-lego mengelilingi mezbah tersebut.
Lego-lego dilakukan sambil menyanyi dan berbalas pantun. Kegiatan ini tidak boleh putus hingga ritual selesai, dan dilakukan pada saat matahari terbenam hingga matahari terbit keesokan harinya.
"Karena malam panjang kita harus panggil orang tua yang bisa melakukan pantun, untuk saling berbalas pantun selama ritual adat. Pantun dan lego-lego ini tidak boleh putus selama ritual berlangsung," jelasnya.
Selain pantun, Ansel menuturkan ada jenis-jenis lagu yang durasinya pendek maupun durasinya panjang.
"Lagu panjang itu kami biasa disebutnya dengan lagu besar dinyanyikan saat tengah malam. Dalam bahasa Abui disebut Yai Foka. Saat jam 12 malam, lagu ini dinyanyikan. Orang yang tidak mengerti bisa merinding mendengar syair dan alunan lagu tersebut," katanya.
Pada saat bulan terbenam dan matahari akan terbit, tetua adat akan mengambil sumpah ritual.
"Ritualny saat bulan terbenam dan matahari akan terbit, saat itulah orang tua mulai mengambil sumpah Lahatala dengan mengangkat kedua tangan. Saat mengambil sumpah ada kalimat yang menyebutkan 'iya boro se' yang artinya bulan terbenam, dan 'war boro marang' yang artinya matahari terbit," jelasnya.
Lahatala memiliki arti Tuhan Allah yang sejak belum masuknya agama di daerah itu, leluhur Etnis Abui telah mengenal Lahatala sebagai pencipta langit dan bumi, bulan dan matahari, dan yang berkuasa menurunkan berkat.
Saat ini masyarakat Etnis Abui telah memeluk agama. Sebagian beragama Protestan, dan sebagian lagi beragama Katolik.
Ansel mengatakan kalimat lain dalam sumpah tersebut memiliki arti: tadi malam kami sudah melakukan ritual, dan lereng (kebun) yang telah kami sepakati semua berkat ada di sana.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR