Masyarakat Suku Abui di Kampung Takpala melakukan tradisi Tifoltol sebelum membuka lahan baru. Penuh muatan filosofis.
Intisari-Online.com -Jika kalian pergi ke Pulau Alor, jangan lupa singgah di Kampung Takpala, sebuah desa wisata di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor.
Di sana ada satu upacara adat yang cukup terkenal, yaitu tradisi Tifoltol.
Dari Kota Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, jaraknya sekitar 30-45 menitan.
Kampung ini konon sudah dikenal publik sejak 1973.
Pada 1980, Takpala meraih penghargaan sebagai juara II desa paling tradisional di Indonesia.
Kampung Takpala dihuni oleh Etnis Abui.
Etnis ini terbagi dalam 3 suku yakni Suku Awen atau raja, Suku Kapitan atau panglima, dan Suku Marang yakni pendoa, perantara.
Salah satu ritual adat yang terkenal di kampung Takpala adalah ritual Tifoltol atau yang dikenal dengan istilah tanam baru.
Mengutip Tribun Flores, menurut Anselmus Yetimau selaku anak dari tetua suku Marang, Abner Yetimau menjelaskan bahwa ritual Tifoltol dilaksanakan saat bulan Purnama.
Namun karena kampung Takpala telah dikenal hingga berbagai belahan dunia, maka ditentukanlah tanggal dilakukan ritual tersebut agar keluarga maupun pengunjung yang datang bisa ikut menyaksikan Tifoltol.
"Tifoltol sendiri berasal dari dua kata yakni Tifol yang artinya bambu dan tol yang artinya potong. Secara harfiah diterjemahkan sebagai potong bambu. Ritual ini dilaksanakan sebelum membuka kebun baru. Tujuannya adalah agar kebun dan pekerjaan kami diberkati sehingga membuahkan hasil yang baik," ujarnya, Selasa 24 April 2023.
Ritual ini dilakukan dengan menusukan bambu di mezbah atau mazbah (tempat persembahan) yang berada di tengah kampung.
Mezbah ini tersusun atas bebatuan dan merupakan tempat dilaksanakan ritual.
Selama prosesi adat, semua masyarakat akan melakukan tarian lego-lego mengelilingi mezbah tersebut.
Lego-lego dilakukan sambil menyanyi dan berbalas pantun. Kegiatan ini tidak boleh putus hingga ritual selesai, dan dilakukan pada saat matahari terbenam hingga matahari terbit keesokan harinya.
"Karena malam panjang kita harus panggil orang tua yang bisa melakukan pantun, untuk saling berbalas pantun selama ritual adat. Pantun dan lego-lego ini tidak boleh putus selama ritual berlangsung," jelasnya.
Selain pantun, Ansel menuturkan ada jenis-jenis lagu yang durasinya pendek maupun durasinya panjang.
"Lagu panjang itu kami biasa disebutnya dengan lagu besar dinyanyikan saat tengah malam. Dalam bahasa Abui disebut Yai Foka. Saat jam 12 malam, lagu ini dinyanyikan. Orang yang tidak mengerti bisa merinding mendengar syair dan alunan lagu tersebut," katanya.
Pada saat bulan terbenam dan matahari akan terbit, tetua adat akan mengambil sumpah ritual.
"Ritualny saat bulan terbenam dan matahari akan terbit, saat itulah orang tua mulai mengambil sumpah Lahatala dengan mengangkat kedua tangan. Saat mengambil sumpah ada kalimat yang menyebutkan 'iya boro se' yang artinya bulan terbenam, dan 'war boro marang' yang artinya matahari terbit," jelasnya.
Lahatala memiliki arti Tuhan Allah yang sejak belum masuknya agama di daerah itu, leluhur Etnis Abui telah mengenal Lahatala sebagai pencipta langit dan bumi, bulan dan matahari, dan yang berkuasa menurunkan berkat.
Saat ini masyarakat Etnis Abui telah memeluk agama. Sebagian beragama Protestan, dan sebagian lagi beragama Katolik.
Ansel mengatakan kalimat lain dalam sumpah tersebut memiliki arti: tadi malam kami sudah melakukan ritual, dan lereng (kebun) yang telah kami sepakati semua berkat ada di sana.
"Lereng yang sudah ditetapkan kami harus ikut untuk menanam di situ, kalau tidak hasil yang kami peroleh akan sangat sedikit. Lereng tersebut ditentukan saat berbalas pantun dalam ritual," terangnya.
Selama ritual adat, warga kampung Takpala mengenakan pakaian adat berupa kain tenun. Tak kalah menariknya adalah hiasan kepala yang dipakai oleh laki-laki dan perempuan.
Laki-laki memiliki 2 hiasan kepala yang terbuat dari kayu, dihiasi bulu ayam jantan.
Ada hiasan kepala memiliki 3 cabang dan hiasan tunggal.
Sedangkan pada hiasan kepala perempuan, memiliki hiasan 3 cabang dan terbuat dari anyaman daun lontar dan bergambar ukiran.
Laki-laki mengenakan hiasan kepala tersebut dengan posisi cabang menghadap ke depan sedangkan perempuan kebalikannya, cabang hiasan berada di bagian belakang kepala.
"Jadi ayam jantan itu lambang keperkasaan atau kejantanan. Dahulu leluhur kami masih berperang. Saat ini kami hanya meneruskan tradisi yang ada. Juga tiga tangkai itu lambang tiga suku. Sedangkan hiasan kepala yang satu tangkai adalah pemimpin. Pada hiasan kepala perempuan, dipakai dengan cabang berada di belakang, berarti bahwa perempuan mendukung laki-laki," jelas Ansel.
Sementara itu, salah seorang pemerhati masalah budaya di Kabupaten Alor, Allan D. Dukabain, S.S, mengatakan bahwa simbol hiasan kepala memiliki banyak tafsiran (multitafsir).
"Lambang tiga hari atau tiga tangkai mahkota, yang bisa berarti tiga suku atau pun terkait kepercayaan religi. Ada juga yang berarti 3 tangkai tersebut mewakili pemerintah, adat, dan agama. Sedangkan makna tanda hanya satu arti, sebagaimana makna lambang satu tangkai sebagai tanda satu orang pemimpin, yang memimpin banyak orang," ujar Allan.
Daya tarik kampung Takpala mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Alor, melalui Dinas Pariwisata Kabupaten Alor.
"Pemda melalui Dinas Pariwisata Kabupaten Alor melakukan promosi terhadap destinasi wisata yang ada di Alor. Salah satunya adalah kampung wisata Takpala. Selain lewat publikasi di berbagai media massa dan website Dinas Pariwisata Kabupaten Alor, kami juga melakukan promosi lewat event tahunan. Tahun 2023 ini di bulan Juni kami adakan Event Visit Alor 2023. Kami mengenalkan semua destinasi pariwisata dan mengadakan karnaval termasuk mempromosikan desa wisata Takpala," ujar Marcel Bili selaku Kabid Promosi Destinasi Wisata Kabupaten Alor.
Dirinya juga mengatakan setiap tamu yang datang selalu diarahkan menuju ke Takpala, sebagai salah satu destinasi yang dapat dijangkau dari Ibu Kota Kabupaten.
Selain itu, Alia salah seorang pengunjung kampung Takpala mengatakan bahwa selain melihat kehidupan masyarakat, dan belajar budaya pengunjung dapat mencoba pakaian tradisional.
"Pengunjung bisa mencoba pakaian tradisional. Satu pasang pakaian, lengkap dengan aksesorisnya seharga Rp 100.000 dan kami bebas berfoto dengan menggunakan pakaian tersebut," ucapnya.
Alia berharap, masyarakat Takpala tetap mempertahankan keaslian tradisinya di tengah perubahan zaman.