Intisari-online.com - Larung sesaji adalah tradisi yang dijalankan oleh masyarakat pesisir di Pulau Jawa dan Bali untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas rezeki dan keselamatan yang dianugerahkan.
Tradisi ini juga merupakan bentuk penghormatan kepada Ratu Laut Selatan, sosok yang dipercaya sebagai penguasa Samudra Hindia atau Samudra Kidul di selatan pulau Jawa.
Ratu Laut Selatan memiliki berbagai nama, antara lain Ibu Ratu Kidul, Kanjeng Ratu Kidul, Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, dan Ratu Rara Kadita.
Menurut beberapa versi cerita rakyat, Ratu Laut Selatan adalah putri dari kerajaan di Jawa Barat, seperti Galuh atau Pajajaran, yang mengalami nasib malang dan akhirnya menjadi penguasa laut.
Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah keturunan dari raja-raja Jawa Timur, seperti Airlangga atau Jayabaya.
Ratu Laut Selatan memiliki hubungan khusus dengan para raja Jawa, terutama dari Kesultanan Mataram.
Konon, Panembahan Senopati, pendiri Mataram, bertemu dengan Ratu Laut Selatan saat bertapa di pantai Parang Kusumo dan mendapatkan dukungan darinya untuk memperluas kekuasaannya.
Sejak itu, Ratu Laut Selatan menjadi istri spiritual dari para raja Mataram dan pelindung dari keluarga keraton.
Dalam tradisi larung sesaji, masyarakat biasanya menyiapkan tumpeng atau sesaji yang berisi berbagai macam hasil bumi dan laut, seperti beras, buah-buahan, sayuran, ikan, daging, dan lain-lain.
Sesaji ini kemudian diarak menuju pantai dan didoakan oleh para tokoh agama atau adat. Setelah itu, sesaji dilemparkan ke laut sebagai persembahan kepada Ratu Laut Selatan.
Tujuan dari larung sesaji adalah untuk memohon berkah, keselamatan, kesejahteraan, dan perlindungan dari Ratu Laut Selatan.
Baca Juga: Labuhan Merapi, Tradisi Rutin Keraton Yogyakarta untuk Memohon Keselamatan dari Bencana Alam
Masyarakat percaya bahwa dengan menghormati Ratu Laut Selatan, mereka akan mendapatkan hasil laut yang melimpah dan terhindar dari bencana alam seperti gelombang tinggi atau tsunami.
Larung sesaji juga merupakan cara untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur.
Larung sesaji dilakukan di berbagai daerah di Jawa dan Bali yang memiliki pantai selatan.
Beberapa tempat yang terkenal dengan tradisi ini adalah Palabuhanratu, Pangandaran, Parang Kusumo, Parang Tritis, dan Puger.
Waktu pelaksanaan larung sesaji juga bervariasi tergantung pada kalender Jawa atau Islam. Beberapa waktu yang sering dipilih adalah 1 Suro (1 Muharram), 15 Suro (15 Muharram), atau Ruwah (bulan sebelum Ramadan).
Larung sesaji adalah salah satu contoh dari kekayaan budaya Indonesia yang patut dilestarikan dan dihargai.
Tradisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang harmonis dengan alam dan makhluk halus yang ada di dalamnya.
Dengan larung sesaji, masyarakat pesisir menunjukkan rasa terima kasih dan hormat mereka kepada Ratu Laut Selatan yang telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan mereka.
Larung sesaji tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam, tetapi juga oleh para pejabat dan tokoh penting.
Misalnya, Presiden Soekarno pernah melakukan larung sesaji di pantai Parang Tritis pada tahun 1966.
Ia didampingi oleh Nyi Roro Kidul yang muncul dalam wujud seorang wanita cantik berpakaian hijau.
Baca Juga: Labuhan Merapi, Tradisi Rutin Keraton Yogyakarta untuk Memohon Keselamatan dari Bencana Alam
Presiden Soekarno juga membangun sebuah hotel di pantai Parang Tritis yang diberi nama Samudra Beach Hotel.
Hotel ini memiliki kamar nomor 308 yang dikhususkan untuk Nyi Roro Kidul dan tidak boleh ditempati oleh tamu lain.
Selain itu, Sultan Hamengkubuwono IX juga pernah melakukan larung sesaji di pantai Parang Kusumo pada tahun 1974.
Ia didampingi oleh Kanjeng Ratu Kidul yang muncul dalam wujud seorang wanita cantik berpakaian kuning.
Sultan Hamengkubuwono IX juga membangun sebuah bangunan di pantai Parang Kusumo yang diberi nama Cepuri.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan dan pertemuan antara Sultan dan Kanjeng Ratu Kidul.