Labuhan Merapi, Tradisi Rutin Keraton Yogyakarta untuk Memohon Keselamatan dari Bencana Alam

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Tradisi Labuhan Merapi.
Ilustrasi - Tradisi Labuhan Merapi.

Intisari-online.com - Salah satu gunung berapi aktif di Indonesia yang terletak di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Gunung Merapi.

Gunung ini memiliki ketinggian 2.968 meter di atas permukaan laut.

Termasuk gunung aktif yang sering mengalami erupsi yang menimbulkan ancaman bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Namun, bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, gunung Merapi tidak hanya dianggap sebagai sumber bencana, tetapi juga sebagai sumber berkah dan kehidupan.

Mereka percaya bahwa Gunung Merapi memiliki penjaga-penjaga gaib yang harus dihormati dan dimintai perlindungan.

Oleh karena itu, setiap tahunnya mereka mengadakan tradisi Labuhan Merapi sebagai bentuk penghormatan dan permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para penjaga Gunung Merapi.

Labuhan Merapi adalah tradisi rutin yang diadakan setiap tahun oleh Keraton Yogyakarta dalam rangka memperingati Tingalan Jumenengan Dalem.

Atau tepatnya ulang tahun naik tahta Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja Keraton Yogyakarta.

Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16.

Dalam tradisi ini, para abdi dalem Keraton Yogyakarta membawa ubarampe atau sesaji yang berupa kain-kain, bunga-bunga, buah-buahan, dan barang-barang lainnya.

Kemudian diserahkan kepada juru kunci Gunung Merapi untuk dilabuhkan atau diserahkan kepada para penjaga gaib Gunung Merapi.

Baca Juga: Saat Perang Mataram-Pajang, Ki Juru Martani Bertapa Di Puncak Gunung Merapi, Ini Yang Terjadi Kemudian

Ubarampe ini melambangkan ucapan terima kasih kepada sang pencipta, kepada alam, dan kepada para penjaga Gunung Merapi atas segala karunia dan keselamatan yang telah diberikan.

Prosesi Labuhan Merapi dimulai dari petilasan rumah Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi terdahulu yang gugur dalam erupsi tahun 2010.

Dari sana, para abdi dalem berjalan kaki menuju lokasi labuhan di Petilasan Srimanganti yang terletak di Pos 1 Merapi.

Di lokasi ini, mereka melakukan doa bersama dan meletakkan ubarampe di tempat-tempat tertentu.

Konon lokasi yang dipercaya sebagai tempat tinggal para penjaga gaib Gunung Merapi.

Tradisi Labuhan Merapi merupakan salah satu contoh tradisi bauran Islam-Jawa yang masih dilestarikan hingga saat ini.

Tradisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya memiliki kearifan lokal.

Serta menjalin hubungan harmonis dengan alam dan makhluk-makhluk gaib yang ada di dalamnya.

Tradisi ini juga menjadi tesis sederhana bahwa masing-masing tradisi akan bisa mempertahankan identitasnya lintas generasi.

Jika keduanya mampu saling berkompromi, berkolaborasi, dan berbagi khazanah.

Labuhan Merapi tidak hanya dilakukan oleh Keraton Yogyakarta, tetapi juga oleh masyarakat sekitar Gunung Merapi yang memiliki tradisi serupa.

Baca Juga: Pertama Kali dalam Sejarah Punya Dua Kubah Lava, Ini Perubahan Bentuk Gunung Merapi dari Zaman ke Zaman

Mereka juga membawa ubarampe atau sesaji yang berupa kain-kain, bunga-bunga, buah-buahan, dan barang-barang lainnya yang diserahkan kepada juru kunci Gunung Merapi untuk dilabuhkan atau diserahkan kepada para penjaga gaib Gunung Merapi.

Salah satu contoh masyarakat yang melakukan Labuhan Merapi adalah masyarakat Desa Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.

Mereka mengadakan Labuhan Merapi setiap tahun pada bulan Syawal atau sebulan setelah Labuhan Merapi yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta.

Mereka percaya bahwa dengan melakukan Labuhan Merapi, mereka akan mendapatkan berkah dan keselamatan dari Gunung Merapi.

Artikel Terkait