Makna Filosofis di Balik Tradisi Ketupat Dan Sejarahnya, Benarkah Berasal Dari Wali Songo ?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Tradisi Ketupat Wali Songo
Tradisi Ketupat Wali Songo

Intisari-online.com - Hari Raya Ketupat atau Kupatan adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia.

Khususnya di Pulau Jawa, pada tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah Idul Fitri.

Tradisi ini biasanya ditandai dengan memasak dan menyantap ketupat, yaitu beras yang dibungkus dengan daun kelapa muda yang berbentuk persegi empat.

Namun, tahukah Anda bagaimana sejarah dan makna filosofis di balik tradisi ini?

Sejarah Tradisi Hari Raya Ketupat

Menurut beberapa sumber, tradisi hari raya ketupat ini berkaitan dengan peran salah satu dari Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga, dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa dengan cara yang akomodatif dan akulturatif.

Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang menggunakan pendekatan budaya lokal untuk mengenalkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa yang saat itu masih banyak dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha.

Salah satu cara yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah memperkenalkan tradisi hari raya ketupat sebagai bentuk pengganti dari tradisi sesajen yang sudah ada sebelumnya.

Tradisi sesajen ini biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk menghormati Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan, serta untuk menenangkan arwah-arwah anak kecil yang meninggal dunia.

Untuk memperkenalkan Islam, Sunan Kalijaga memperkenalkan sebuah tradisi, yaitu setelah bulan Ramadan usai dan Idulfitri (Lebaran) dirayakan, masyarakat setempat diajak menganyam ketupat dengan daun kelapa muda lalu disii dengan beras.

Kemudian, ketupat tersebut dimasak dan disantap bersama-sama dengan keluarga, kerabat, tetangga, dan fakir miskin.

TradiriBaca Juga: Ini Anggota Wali Songo yang Perkenalkan Ketupat, Apa Filosofinya?

Sunan Kalijaga juga memberikan nama-nama baru untuk tradisi ini, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat.

Bakda Lebaran berarti setelah Lebaran, yang merupakan tradisi silaturahmi dan bermaaf-maafan setelah salat Idul Fitri.

Bakda Kupat berarti setelah Kupat (Ketupat), yang merupakan perayaan sepekan setelah Idul Fitri dan enam hari berpuasa Syawal.

Dengan demikian, Sunan Kalijaga berhasil mengubah tradisi sesajen yang bersifat animisme menjadi tradisi syukuran yang bersifat Islami.

Makna Filosofis Tradisi Hari Raya Ketupat

Selain memiliki sejarah yang menarik, tradisi hari raya ketupat juga memiliki makna filosofis yang mendalam khususnya bagi masyarakat Jawa.

Berikut adalah beberapa makna filosofis dari tradisi ini:

1. Ketupat berbentuk persegi empat yang melambangkan Kiblat Papat Limo Pancer atau arah kiblat, segala sesuatu yang berjumlah empat (seperti arah mata angin dan elemen alam), dan lima pilar Islam.

Semua itu akan kembali kepada Allah SWT sebagai sumber segala sesuatu.

Ketupat berbahan beras yang melambangkan rizki atau rezeki yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia.

Dengan memasak dan membagi-bagikan ketupat kepada orang lain, manusia menunjukkan rasa syukur dan kedermawanan kepada Allah SWT.

Baca Juga: Sempat Terhenti Kala Islam Mulai Masuk, Grebeg Syawal Kembeli Dihelat Usai Sosok-sosok Ini 'Memanfaatkannya'

2.Ketupat dibungkus dengan daun kelapa muda yang melambangkan laku papat atau empat tindakan yang terdirKetupat dibungkus dengan daun kelapa muda yang melambangkan laku papat atau empat tindakan yang terdiri dari lebaran, luberan, leburan, dan laburan.

Lebaran berarti habis atau berakhirnya bulan Ramadan. Luberan berarti meluber atau melimpahnya rizki dan berbagi dengan orang lain.

Leburan berarti melebur atau menghapus dosa dengan saling memaafkan.

Laburan berarti labur atau kapur yang melambangkan kesucian lahir dan batin.

3. Ketupat disajikan dengan berbagai lauk-pauk yang juga memiliki makna tersendiri. Misalnya, opor ayam yang melambangkan kemenangan dan kebahagiaan.

Sambal goreng ati yang melambangkan hati yang bersih dan ikhlas.

Sayur lodeh yang melambangkan keragaman dan keharmonisan.

Rendang yang melambangkan keteguhan dan ketabahan. Dan masih banyak lagi.

4. Ketupat juga memiliki makna permohonan maaf atas segala kesalahan dan khilaf yang dilakukan selama bulan Ramadan maupun setelahnya.

Hal ini biasanya diungkapkan dalam bentuk parikan atau pantun Jawa, seperti "Kupat duduhe santen, menawi lepat nyuwun pangapunten" yang artinya "Ketupat berkuah santan, jika ada salah mohon dimaafkan".

Artikel Terkait