Intisari-online.com - Makam Imam Al-Bukhari, salah satu ulama terkemuka dalam bidang hadis, terletak di Samarkand, Uzbekistan.
Makam ini menjadi tempat ziarah bagi umat Islam dari berbagai negara.
Namun, tahukah Anda bahwa makam ini pernah mengalami masa-masa suram dan hampir terlupakan?
Dan tahukah Anda bahwa Presiden Indonesia pertama, Sukarno, dikabarkan berperan dalam penemuan kembali dan pemugaran makam ini?
Imam Al-Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan pada tahun 196 Hijriah atau 810 Masehi.
Beliau diberi nama Muhammad oleh ayahnya yang bernama Ismail bin Ibrahim.
Namun kemudianlebih dikenal sebagai Imam Al-Bukhari dari nama kota kelahirannya.
Semasa hidupnya menghabiskan waktu untuk menghimpun dan menyaring hadis-hadis Rasulullah SAW dari berbagai sumber.
Beliau berhasil mengumpulkan sekitar sejuta hadis, namun hanya memilih 7.275 hadis yang dianggap shahih untuk dimasukkan ke dalam kitabnya yang terkenal, Shahih al-Bukhari.
Kemudian,wafat pada tahun 256 Hijriah atau 870 Masehi di Samarkand, Uzbekistan.
Setelah itu dimakamkan di sebuah desa bernama Khartang yang berjarak sekitar 25 kilometer dari kota Samarkand.
Baca Juga: Ketika Ratusan Anggota Nazi Melarikan Diri ke Argentina, Begini Nasib Mereka Kemudian
Makam beliau kemudian menjadi tempat ziarah bagi umat Islam yang menghormati karya dan jasa beliau.
Namun, pada masa Uni Soviet, makam Imam Al-Bukhari mengalami nasib buruk.
Uni Soviet yang berideologi komunis dan ateis melarang praktik-praktik keagamaan dan menghancurkan banyak tempat ibadah dan situs bersejarah Islam.
Makam Imam Al-Bukhari pun tidak luput dari kehancuran. Makam ini dibiarkan terlantar dan ditutupi oleh tanaman liar.
Bahkan, ada yang mengatakan bahwa makam ini pernah digunakan sebagai tempat pembuangan sampah.
Kontroversi kisah Soekarno dan Makam Imam Bukhari
Di sinilah muncul kisah yang menarik dan kontroversial tentang peran Sukarno dalam penemuan kembali dan pemugaran makam Imam Bukhari.
Kisah ini bermula ketika pada tahun 1961, pemimpin Uni Soviet saat itu, Nikita Khrushchev, mengundang Soekarno untuk berkunjung ke Moskow.
Soekarno yang saat itu menjabat sebagai Presiden Indonesia pertama dan pemimpin gerakan nonblok tidak langsung menerima undangan tersebut.
Presiden Soekarno merasa perlu berhati-hati karena Uni Soviet dan Amerika Serikat sedang bersaing memperebutkan pengaruh di dunia.
Sukarno kemudian membuat strategi dengan mengajukan syarat kepada Khrushchev: ia hanya akan memenuhi undangan jika pemimpin Soviet itu bisa "menemukan" kembali makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan.
Bung Karno yang dikenal sebagai seorang Muslim taat ingin berziarah ke makam ulama besar tersebut.
Khrushchev awalnya enggan, tapi akhirnya menyetujui permintaan Soekarno. Ia memerintahkan agar makam Imam Al-Bukhari dicari dan dipugar kembali.
Setelah makam Imam Al-Bukhari berhasil ditemukan lagi meski dalam keadaan terlantar, Khrushchev mengundang Soekarno untuk datang ke Uni Soviet pada tahun 1962.
Lalu, Soekarno pun menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Imam Al-Bukhari di Samarkand. Ia juga memberikan sumbangan untuk pembangunan masjid di dekat makam tersebut.
Kisah ini kemudian menjadi legenda dan disebut-sebut sebagai salah satu sumbangan penting Soekarno bagi umat muslimdi Uzbekistan.
Kisah ini juga menjadi salah satu bukti kecintaan Soekarno terhadap Islam dan warisan budayanya.
Namun, apakah kisah ini benar-benar terjadi? Ataukah ini hanya sebuah mitos yang dibesar-besarkan oleh para pengagum Soekarno?
Sayangnya, tidak ada sumber tertulis yang bisa memastikan kebenaran kisah ini.
*Artikel ini dibuat dengan bantuai Ai
Bahkan, Sukarno sendiri tidak pernah menceritakan kisah ini dalam autobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams.
Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014), lawatan Sukarno ke Uni Soviet hanya disinggung sambil lalu saja.
Selain itu, ada juga ketidaksesuaian data tentang waktu terjadinya peristiwa ini.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa permintaan Sukarno untuk menemukan makam Imam Bukhari disampaikan kepada Nikita Khrushchev sebelum kunjungannya ke Uni Soviet pada tahun 1956.
Namun, saat itu presiden Uni Soviet masih dijabat oleh Kliment Voroshilov, sedangkan Khrushchev baru menjabat sebagai sekretaris jenderal Dewan Presidium Tertinggi Uni Soviet.
Sukarno baru bertemu dengan Khrushchev pada tahun 1962, saat ia mengunjungi Uni Soviet untuk kedua kalinya.
Sejarawan Asvi Warman Adam juga meragukan kebenaran kisah ini. Menurutnya, tidak ada literasi resmi yang mencatat peristiwa ini.
Ia mengatakan bahwa kadang ada cerita Sukarno yang dibesar-besarkan tanpa dasar yang kuat.
Kemudian ia juga menambahkan bahwa tidak jelas alasan Sukarno mengajukan syarat tersebut kepada Uni Soviet.
*Artikel ini dibuat dengan bantuan Ai