Intisari-online.com -Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah sultan ketiga dari Kesultanan Mataram yang memerintah dari tahun 1613 hingga 1645.
Beliau adalah seorang penguasa yang tangkas, cerdas, taat agama, dan berjiwa pejuang.
Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan besar dan kuat di Nusantara.
Berikut adalah kisah mistis tentang Sultan Agung dan Juru Taman, abdi dalem gaib yang setia menjaga keraton Mataram.
Juru Taman adalah seorang abdi dalem istimewa yang memiliki kesaktian tinggi dan berwujud siluman.
Konon, dulunya ia adalah seorang manusia berkebangsaan Italia yang bekerja di kaputren (tempat tinggal para selir raja) pada zaman Panembahan Hanyakrawati, ayah Sultan Agung.
Namun, karena ulahnya yang mengganggu para selir raja, ia kemudian dipindahkan ke Krapyak (hutan lindung tempat raja berburu rusa).
Di Krapyak, Juru Taman mendapat telur Lungsung Jagat dari Panembahan Senopati, kakek Sultan Agung.
Telur Lungsung Jagat adalah telur ajaib yang diberikan oleh Kanjeng Ratu Kidul kepada Panembahan Senopati untuk dimakan agar tubuhnya kuat dan panjang umur.
Namun, Panembahan Senopati tidak langsung memakan telur tersebut. Ia malah memberikannya kepada Juru Taman yang saat itu sedang sakit keras.
Setelah memakan telur Lungsung Jagat, Juru Taman langsung sembuh dari penyakitnya. Namun ada yang aneh, karena ia berubah menjadi raksasa dan memiliki kesaktian yang hebat dan berumur panjang.
Baca Juga: Kisah Nyai Roro Kidul, Selir Legendaris Raja-raja Mataram, Benarkah Berasal dari Kerajaan Pajajaran?
Ia juga bisa berubah wujud menjadi apa saja sesuai keinginannya. Juru Taman kemudian menjadi abdi dalem setia Sultan Agung dan menjaga keraton Mataram dari gangguan musuh maupun makhluk gaib.
Salah satu kisah menarik tentang Sultan Agung dan Juru Taman adalah ketika Sultan Agung bermaksud akan pergi ke Banten, jajahannya yang belum takluk. Ia ingin melihat dari dekat wilayah bakal medan perangnya itu.
Namun, sebelum berangkat, ia memerintahkan Juru Taman untuk menghilangkan singgasana kerajaan agar tidak dicuri oleh musuh.
Juru Taman pun menuruti perintah Sultan Agung dan mengubah singgasana menjadi seekor burung pipit.
Ketika Sultan Agung kembali dari Banten, ia terkejut melihat singgasana kerajaan sudah tidak ada di tempatnya.
Ia lalu bertanya kepada Juru Taman tentang keberadaan singgasana tersebut. Juru Taman menjawab bahwa ia telah mengubah singgasana menjadi burung pipit dan melepaskannya di hutan Krapyak.
Sultan Agung marah besar dan menyuruh Juru Taman untuk segera mengembalikan singgasana ke bentuk semula.
Juru Taman pun bergegas ke hutan Krapyak untuk mencari burung pipit yang merupakan singgasana kerajaan.
Namun, ia mendapati bahwa di hutan itu ada banyak sekali burung pipit yang serupa. Ia tidak bisa membedakan mana burung pipit yang asli dan mana yang palsu. Ia lalu meminta bantuan kepada para makhluk gaib yang tinggal di Hutan Krapyak.
Juru Taman pun bergegas ke hutan Krapyak untuk mencari burung pipit yang merupakan singgasana kerajaan.
Namun, ia mendapati bahwa di hutan itu ada banyak sekali burung pipit yang serupa. Ia tidak bisa membedakan mana burung pipit yang asli dan mana yang palsu.
Baca Juga: Ratu Kulon dan Ratu Wetan: Dua Ibu dari Penerus Tahta Mataram yang Berbeda Nasib
Ia lalu meminta bantuan kepada para makhluk gaib yang tinggal di hutan itu, tetapi mereka juga tidak bisa membantunya.
Sementara itu, Sultan Agung sudah sampai di Banten dan melihat keadaan kerajaan itu dari udara.
Ia melihat bahwa Banten adalah kerajaan yang makmur dan kuat, dengan benteng-benteng yang kokoh dan pasukan yang banyak.
Juru Taman juga melihat bahwa rakyat Banten hidup rukun dan damai, tanpa ada tanda-tanda pemberontakan atau ketidakpuasan.
Lalu, ia lalu berpikir bahwa menaklukkan Banten bukanlah perkara mudah, dan mungkin akan menimbulkan banyak korban jiwa.
Sultan Agung kemudian merasa kasihan kepada rakyat Banten dan menyesali niatnya untuk menyerang mereka.
Ia berpikir bahwa lebih baik ia kembali ke Mataram dan memperbaiki pemerintahannya sendiri, agar rakyatnya juga bisa hidup makmur dan sejahtera seperti rakyat Banten.
Lalu memerintahkan Juru Taman untuk membawanya pulang ke Mataram dengan singgasana kerajaan.
Namun, Juru Taman mengaku bahwa ia belum menemukan singgasana kerajaan yang berwujud burung pipit di hutan Krapyak.
Ia meminta maaf kepada Sultan Agung dan berjanji akan terus mencarinya sampai ketemu.
Sultan Agung marah besar dan menghukum Juru Taman dengan cara mengikatnya di pohon beringin di depan keraton Mataram.
Ia juga melarang siapa pun untuk melepaskan Juru Taman sampai ia bisa mengembalikan singgasana kerajaan ke bentuk semula.
Juru Taman pun terpaksa tinggal terikat di pohon beringin selama bertahun-tahun. Ia tidak bisa bergerak atau berbicara, hanya bisa menangis dan menyesali kesalahannya.
Para abdi dalem dan rakyat Mataram yang lewat di depan keraton sering melihat sosok Juru Taman yang menyedihkan itu, tetapi mereka tidak berani membantunya karena takut kepada Sultan Agung.
Hanya sesekali ada orang-orang baik hati yang memberinya makanan atau minuman agar ia tidak mati kelaparan atau kehausan.
Suatu hari, ada seorang pedagang burung yang lewat di depan keraton Mataram. Ia melihat Juru Taman yang terikat di pohon beringin dan merasa kasihan padanya.
Ia lalu mendekati Juru Taman dan bertanya apa sebabnya ia terikat di situ. Juru Taman menceritakan kisahnya kepada pedagang burung itu dengan haru.
Kemudian ia juga meminta tolong kepada pedagang burung itu untuk mencarikan burung pipit yang merupakan singgasana kerajaan di hutan Krapyak.
Pedagang burung itu merasa tertarik dengan kisah Juru Taman dan bersedia membantunya. Ia lalu pergi ke hutan Krapyak dengan membawa beberapa perangkap burung.
Di sana ia berhasil menangkap banyak burung pipit dengan mudah. Ia lalu membawa semua burung pipit yang ditangkapnya ke depan keraton Mataram dan menunjukkannya kepada Juru Taman.
Juru Taman sangat senang melihat banyak burung pipit yang dibawa oleh pedagang burung itu. Ia berharap salah satu dari burung-burung itu adalah singgasana kerajaan yang dicarinya.
Ia lalu meminta pedagang burung itu untuk melepaskan burung-burung itu satu per satu di dekatnya, agar ia bisa melihat mana yang berubah kembali menjadi singgasana.
Baca Juga: Ratu Kulon dan Ratu Wetan: Dua Ibu dari Penerus Tahta Mataram yang Berbeda Nasib
Pedagang burung itu pun menuruti permintaan Juru Taman dan melepaskan burung-burung pipit itu satu per satu. Namun, tidak ada satupun burung pipit yang berubah menjadi singgasana kerajaan.
Semua burung pipit itu terbang bebas ke udara tanpa ada yang berubah bentuk. Juru Taman merasa kecewa dan putus asa.
Ia merasa tidak akan pernah bisa mengembalikan singgasana kerajaan dan terbebas dari hukuman Sultan Agung.
Pedagang burung itu juga merasa bingung dan heran. Ia bertanya-tanya mana burung pipit yang sebenarnya adalah singgasana kerajaan.
Ia lalu ingat bahwa ia masih menyimpan satu burung pipit lagi di dalam sangkarnya. Ia lalu mengambil sangkar itu dan membukanya.
Di dalamnya ada seekor burung pipit yang tampak lebih besar dan lebih indah dari burung-burung pipit lainnya.
Pedagang burung itu lalu melepaskan burung pipit itu di depan Juru Taman. Tiba-tiba, terjadi keajaiban. Burung pipit itu berubah menjadi singgasana kerajaan yang megah dan mewah.
Juru Taman tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia bersyukur dan berterima kasih kepada pedagang burung itu atas bantuannya.
Lalu meminta pedagang burung itu untuk membawanya ke singgasana kerajaan dan meminta maaf kepada Sultan Agung.
Pedagang burung itu pun membantu Juru Taman untuk naik ke singgasana kerajaan. Ia lalu mendorong singgasana kerajaan itu masuk ke dalam keraton Mataram.
Di dalam keraton, Sultan Agung sedang duduk di ruang audiensi bersama para abdi dalem dan pejabatnya.
Baca Juga: 2 Kali Menyerang Batavia, 2 Kali Juga Pasukan Sultan Agung Babak Belur Di Hadapan Belanda
Lalu terkejut melihat singgasana kerajaan yang hilang selama bertahun-tahun kembali lagi dengan Juru Taman di atasnya.
Juru Taman segera turun dari singgasana kerajaan dan bersujud di hadapan Sultan Agung. Ia meminta maaf kepada Sultan Agung atas kesalahannya yang telah menghilangkan singgasana kerajaan dan menyebabkan kesusahan bagi Sultan Agung.
Ia juga menceritakan bagaimana ia bisa menemukan kembali singgasana kerajaan dengan bantuan pedagang burung yang baik hati.
Sultan Agung mendengarkan penjelasan Juru Taman dengan sabar dan bijaksana. Ia melihat bahwa Juru Taman sudah menyesali kesalahannya dan sudah menderita cukup lama karena hukumannya.
Beliau juga melihat bahwa pedagang burung itu adalah orang yang jujur dan murah hati yang telah membantu Juru Taman tanpa pamrih. Ia lalu memutuskan untuk memaafkan Juru Taman dan memberinya hadiah sebagai tanda penghargaan.
Sultan Agung lalu memerintahkan para abdi dalem untuk melepaskan ikatan Juru Taman dari pohon beringin.
Lalu ia juga memberikan Juru Taman gelar Ki Raksasa sebagai tanda hormat atas kesaktian dan kesetiaannya. Ia juga memberikan pedagang burung itu gelar Ki Burung Pipit sebagai tanda terima kasih atas bantuannya.
Sultan Agung juga memberikan pedagang burung itu sejumlah uang dan barang berharga sebagai hadiah.
*Artikel ini dibuat dengan bantuan Ai