Ratu Kulon dan Ratu Wetan: Dua Ibu dari Penerus Tahta Mataram yang Berbeda Nasib

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Penulis

Dua permaisuri Sultan Agung, Ratu Kulon dan Ratu Wetan sungguh beda nasibnya dalam sejarah Mataram Islam.
Dua permaisuri Sultan Agung, Ratu Kulon dan Ratu Wetan sungguh beda nasibnya dalam sejarah Mataram Islam.

Dua permaisuri Sultan Agung, Ratu Kulon dan Ratu Wetan sungguh beda nasibnya dalam sejarah Mataram Islam.

Intisari-Online.com -Sultan Agung memiliki dua permaisuri utama yang disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan.

Ratu Kulon adalah putri dari Sultan Cirebon, sedangkan Ratu Wetan adalah putri dari Adipati Batang dan cucu dari Ki Juru Martani.

Dari kedua permaisuri ini, Sultan Agung memiliki dua putra: Pangeran Alit dan Raden Mas Sayyidin.

Ratu Kulon dan Ratu Wetan memiliki peran penting dalam kehidupan dan pemerintahan Sultan Agung.

Mereka mendampingi Sultan Agung dalam berbagai peristiwa penting.

Namun, nasib kedua permaisuri ini berbeda setelah kematian Sultan Agung pada tahun 1645.

Ratu Kulon mengikuti Sultan Agung meninggal dunia pada tahun yang sama.

Sedangkan Ratu Wetan masih hidup hingga tahun 1677.

Ratu Kulon dan Ratu Wetan juga memiliki nasib berbeda dalam hal keturunan mereka.

Putra Ratu Kulon, yaitu Pangeran Alit, yang sejatinya adalah Putra Mahkota, dilucuti hak-haknya sebagai pewaris kerajaan.

Takhta Sultan Agung, kita tahu, akhirnya diwariskan kepada putranya dengan Ratu Wetan, yang kelak menyandang gelar Amangkurat I.

Selama memerintah, Amangkurat Imenghadapi banyak pemberontakan dan konflik internal yang mengancam kestabilan kerajaannya.

Salah satu pemberontak yang paling berbahaya adalah Trunojoyo, seorang adipati dari Madura yang berhasil merebut ibu kota Mataram di Plered pada tahun 1677.

Amangkurat I terpaksa melarikan diri ke Tegal bersama keluarganya, termasuk ibunya Ratu Wetan.

Namun, dalam perjalanan itu, ia jatuh sakit dan meninggal di desa Tegalarum pada tahun 1677.

Ia digantikan oleh putranya, Raden Mas Rahmad, bergelar Amangkurat II.

Amangkurat I juga punya dua istri: Ratu Kulon dan Ratu Wetan.

Dari Ratu Kulon lahir Raden Mas Rahmad alias Amangkurat II, dari Ratu Wetan lahir Pangeran Puger yang kelak kita kenal sebagai Pakubuwono I.

Putra-putra Amangkurat I juga bisa dibilang nggak akur-akur amat.

Hal ini bisa dibuktikan dengan perselisihan Raden Mas Rahmad dan Pangeran Puger.

Pangeran Puger sempat diangkat sebagai putra mahkota (Adipati Anom) ketika Amangkurat I berkonflik dengan putra dari permaisuri pertama Raden Mas Rahmad.

Raden Mas Rahmat adalah saudara tiri Pangeran Puger, lahir dari Ratu Kulon (permaisuri pertama Amangkurat I).

Amangkurat I melepaskan gelar putra mahkota dari Raden Mas Rahmat dan menyerahkannya kepada Pangeran Puger.

Namun, ketika keluarga Kajoran terbukti mendukung pemberontakan Trunajaya pada tahun 1674, Amangkurat I terpaksa mencabut gelar putra mahkota (adipati anom) dari Pangeran Puger.

Gelar putra mahkota dikembalikan lagi kepada Raden Mas Rahmad.

Pada 1677 pemberontakan Trunojoyo mengalami puncaknya, Amangkurat I dan Raden Mas Rahmat memilih melarikan diri ke barat ke arah Tegal.

Ketika ayah dan kakaknya mengungsi, Pangeran Puger memutuskan tetap tinggal dan memilih mempertahankan Keraton Plered.

Dia ingin membuktikan bahwa tidak semua keluarga Kajoran terlibat dalam pemberontakan Trunojoyo.

Tapi apa mau dikata, Pangeran Puger tak bisa membendung pasukan Trunajaya, dan dia pun memilih menyingkir ke Desa Jenar.

Di sana Pangeran Puger mendirikan istana bernama Keraton Purwakanda dan mengankat dirinya sebagaiSusuhunan ing Ngalaga atau Sunan Ngalaga.

Ketika Trunojoyo memutuskan kembali ke markasnya di Kediri, Pangeran Puger kembali ke Plered.

Dia menumpas sisa-sisa pengikut Trunojoyo yang masih ada di sana.

Di sana, Sunan Ngalaga atau Pangeran Puger mengangkat dirinya sebagai raja Mataram yang baru bergelar Pakubuwono I.

Di Tegal, Amangkurat I yang menghadapi ajal menunjuk Raden Mas Rahmat sebagai penggantinya dengan gelar Amangkurat II.

Amangkurat II awalnya raja tanpa istana karena Keraton Plered diduduki oleh adiknya, Pangeran Puger.

Dia pun mendirikan keraton baru yang kelak dikenal sebagai Keraton Kartasura pada September 1680.

Amangkurat II kemudian membujuk Sunan Ngalaga supaya bergabung dengannya tetapi panggilan tersebut ditolak.

Penolakan itu tentu saja serupa tantangan, maka terjadinya perang saudara di internal Mataram.

Pada28 November 1681 Sunan Ngalaga menyerah kepada Jacob Couper, perwira VOC yang membantu Amangkurat II.

Sebagai konsekuensinya, Sunan Ngalaga harus mengakui kedaulatan kakanya sebagai Amangkuran II dan kembali bergelar pangeran.

Pada 1703, Amangkura II meninggal dunia dan takhta Mataram diserahkan kepada putranya, Amangkurat III.

Tapi Amangkurat III bukanlah orang yang diinginkan karena sikapnya yang dianggap buruk.

Dukungan mengalir kepada Pangeran Puger.

Kondisi semakin memburuk ketika Raden Suryakusuma, putra Pangeran Puger, memberontak.

Amangkurat III lalu mengirim pasukan untukkeluarga Pangeran Puger, tapi dia dan pengikutnya berhasil lolos.

Pangeran Puger kemudian meminta bantuan Belanda.

Belanda mau membantu dengan syarat Pangeran Puger mau menyerahkan wilayah Madura kepada VOC.

Belanda kemudian mengangkat Pangeran Puger sebagaiRajaMataram selanjutnya yang bergelar Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurahman Sayyidin Panatagama Khalifatulah alias Susuhunan Pakubuwana atau Pakubuwana I.

Pada 1705, Pakubuwono menyerang Keraton Kartasura.

Pasukan Amangkurat III yang ditugaskan untuk menyergap mereka dipimpin oleh Arya Mataram, yang tak lain adik Pakubuwana I sendiri.

Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III untuk mengungsi ke timur, tetapi ia sendiri malah bergabung dengan Pakubuwana I.

Setelah peristiwa penyerbuan ke Keraton Kartasura dengan demikian takhta Mataram jatuh ke tangan Pakubuwana I, tepatnya pada tanggal 17 September 1705.

Artikel Terkait