Perang ini dimulai pada tahun 1873 dan berakhir pada tahun 1904 dengan pembubaran Kesultanan Aceh oleh Belanda.
Namun, perlawanan rakyat Aceh masih terus berlanjut hingga tahun 1914 dengan menggunakan strategi perang gerilya.
Perang Aceh merupakan salah satu perang terlama dan terberat yang pernah dihadapi oleh Belanda di Indonesia.
Selama perang ini, Belanda mengalami banyak kerugian baik dari segi militer, politik, ekonomi, maupun moral.
Dari segi militer, Belanda mengalami banyak korban jiwa dan luka-luka akibat pertempuran sengit dengan pasukan dan rakyat Aceh yang gigih dan berani.
Menurut sejarawan Paul van 't Veer dalam bukunya Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, selama perang ini Belanda kehilangan sekitar 10.000 tentara Eropa dan 25.000 tentara pribumi yang tewas atau luka-luka.
Salah satu korban yang paling menonjol adalah Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, panglima pasukan Belanda dalam ekspedisi pertama ke Aceh, yang tewas ditembak tentara Aceh pada tahun 18732.
Dari segi politik, Belanda menghadapi banyak kritik dan protes dari masyarakat internasional maupun dalam negeri sendiri atas kebijakan dan tindakan mereka di Aceh.
Banyak negara Eropa dan Amerika yang mengecam Belanda karena dianggap melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional dengan melakukan kekerasan, pembantaian, penyiksaan, pemerkosaan, dan penjarahan terhadap rakyat Aceh.
Di dalam negeri sendiri, banyak politisi dan tokoh masyarakat yang menentang perang ini karena dianggap sia-sia, mahal, dan tidak bermoral.
Bahkan, Ratu Wilhelmina sendiri sempat mengusulkan untuk mengakhiri perang ini pada tahun 1898, tetapi ditolak oleh pemerintah kolonial.
Dari segi ekonomi, Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai perang ini.
Menurut Paul van 't Veer, selama perang ini Belanda menghabiskan sekitar 600 juta gulden atau setara dengan 12 miliar euro saat ini.
Biaya ini mencakup biaya operasi militer, pembangunan infrastruktur, pengadaan senjata dan perlengkapan, gaji tentara dan pegawai sipil, serta bantuan kemanusiaan untuk rakyat Aceh.
Biaya ini sangat memberatkan anggaran negara Belanda yang saat itu sedang mengalami krisis ekonomi akibat depresi dunia pada akhir abad ke-19.
Dari segi moral, Belanda mengalami penurunan citra dan reputasi sebagai negara yang beradab dan berbudaya di mata dunia.
Perang ini menunjukkan sisi gelap dari kolonialisme Belanda yang brutal dan bengis terhadap rakyat jajahannya.
Perang ini juga menimbulkan trauma dan luka batin bagi banyak tentara dan pegawai sipil Belanda yang terlibat di Aceh.
Banyak di antara mereka yang menderita stres pasca-trauma atau gangguan mental akibat pengalaman mengerikan yang mereka alami di medan perang.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR