Kerajaan Larantuka, kerajaan kristen pertama di Indonesia, sudah ada sejak abad ke-13. Dapat pengaruh dari Hindu di Jawa.
Intisari-Online.com -Kerajaan Larantuka berlokasi di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Nama Larantuka berasal dari kata "laran" yang berarti tanah dan "tuka" yang berarti ujung.
Jadi, Larantuka berarti ujung tanah atau tanjung.
Dalam bahasa lokal, Pulau Flores disebut juga sebagai Nusa Nipa yang berarti Pulau Naga.
Sedangkan dalam bahasa Portugis, pulau ini disebut Cabo de Flores yang berarti Tanjung Bunga.
Kerajaan Larantuka didirikan oleh pasangan Pati Golo Arakian dan Wato Wele pada abad ke-13 Masehi.
Mereka berasal dari keturunan bangsawan dari Pulau Timor dari Kerajaan Manuaman Lakaan.
Kerajaan ini semula lebih dikenal dengan nama Kerajaan Ata Jawa karena pengaruh Hindu dari Majapahit.
Namun kemudian berganti nama menjadi Larantuka setelah menerima agama Kristen Katolik dari Portugis pada abad ke-16 Masehi.
Kerajaan Larantuka memiliki wilayah kekuasaan yang mencakup Pulau Solor, Pulau Lembata, dan Pulau Adonara.
Kerajaan ini juga dikenal sebagai penghasil kayu cendana dan rempah-rempah yang diminati oleh bangsa-bangsa Eropa.
Oleh karena itu, kerajaan ini sering berhubungan dengan Portugis dan Spanyol dalam perdagangan dan misi agama.
Kerajaan Larantuka juga pernah mengalami konflik dengan Belanda atau VOC yang ingin menguasai wilayahnya.
Untuk melawan Belanda, kerajaan ini beraliansi dengan Portugis dan mendapat perlindungan dari mereka.
Namun pada akhirnya, Portugis terpaksa menyerahkan wilayah Flores kepada Belanda pada tahun 1859 setelah perundingan panjang.
Kerajaan Larantuka dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1904 setelah pemberontakan rakyat melawan penjajahan Belanda dipadamkan secara brutal.
Namun demikian, warisan budaya dan agama Kerajaan Larantuka masih terpelihara hingga kini.
Salah satu contohnya adalah tradisi Semana Santa atau Pekan Suci yang dilakukan oleh umat Katolik di Larantuka setiap menjelang Paskah.
Tradisi Semana Santa merupakan salah satu wisata rohani bagi umat Katolik di Indonesia maupun mancanegara.
Dalam tradisi ini, umat Katolik melakukan prosesi mengarak patung Yesus Kristus (Tuan Ana) dan Bunda Maria (Tuan Ma) sambil menyanyikan lagu-lagu religius dalam bahasa Portugis kuno.
Patung-patung tersebut merupakan peninggalan Portugis dari abad ke-16 Masehi.
Zaman keemasan Kerajaan Larantuka, bersekutu dengan Portugis
Zaman keemasan kerajaan Larantuka terjadi pada abad ke-17 Masehi ketika kerajaan ini berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencakup Pulau Solor, Pulau Lembata, dan Pulau Adonara.
Kerajaan ini juga dikenal sebagai penghasil kayu cendana dan rempah-rempah yang diminati oleh bangsa-bangsa Eropa.
Oleh karena itu, kerajaan ini sering berhubungan dengan Portugis dan Spanyol dalam perdagangan dan misi agama.
Salah satu faktor yang memperkuat hubungan antara kerajaan Larantuka dengan Portugis adalah adanya aliansi politik dan militer untuk melawan Belanda atau VOC yang ingin menguasai wilayah Flores dan sekitarnya.
Aliansi ini dimulai ketika Belanda menyerang benteng Portugis di Solor pada tahun 1613 Masehi dan mengusir mereka ke Larantuka.
Sejak saat itu, Portugis memberikan perlindungan kepada rakyat dan raja-raja Larantuka dari serangan Belanda.
Portugis juga membantu membangun benteng-benteng pertahanan di sepanjang pantai Larantuka seperti Benteng Reinha Rosari (Ratu Rosario), Benteng Reinha Santana (Ratu Santa Ana), Benteng Reinha Tres Reis Magos (Ratu Tiga Raja Suci), dan Benteng Santo Antonio.
Selain itu, Portugis juga membawa pengaruh budaya dan agama Katolik yang mendalam bagi masyarakat Larantuka.
Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa Portugis dalam lagu-lagu religius maupun sehari-hari, penggunaan gelar-gelar bangsawan Eropa seperti Don atau Donna untuk raja-raja atau bangsawan lokal.
Serta adanya tradisi Semana Santa atau Pekan Suci yang dilakukan oleh umat Katolik di Larantuka setiap menjelang Paskah.
Zaman keemasan kerajaan Larantuka berakhir pada tahun 1859 Masehi ketika Portugis terpaksa menyerahkan wilayah Flores kepada Belanda setelah perundingan panjang.
Belanda menginginkan wilayah Flores karena melihat potensi ekonomi dan strategisnya sebagai jalur perdagangan rempah-rempah dan kayu cendana.
Belanda kemudian mengambil alih pemerintahan kerajaan Larantuka dan mengubahnya menjadi sebuah keresidenan yang dipimpin oleh seorang residen Belanda.
Namun demikian, Belanda tidak langsung menghapuskan sistem monarki yang sudah ada di kerajaan Larantuka.
Belanda masih mengakui keberadaan raja-raja lokal yang berasal dari keluarga bangsawan Larantuka.
Raja-raja lokal ini masih diberikan wewenang untuk mengurus urusan adat dan agama di wilayah mereka masing-masing.
Namun, mereka harus tunduk kepada kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Selain itu, mereka juga harus membayar pajak dan upeti kepada Belanda sebagai tanda pengakuan kedaulatan mereka.
Meskipun demikian, rakyat dan raja-raja Larantuka tidak senang dengan penjajahan Belanda.
Mereka merasa hak-hak dan kebebasan mereka terancam oleh campur tangan Belanda dalam urusan internal mereka.
Mereka juga merasa agama Katolik mereka terancam oleh usaha-usaha zending atau penyebaran agama Kristen Protestan yang dilakukan oleh para misionaris Belanda.
Oleh karena itu, pada tahun 1904 Masehi, rakyat dan raja-raja Larantuka melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Raja Don Lorenzo II dari Kerajaan Sikka yang merupakan salah satu kerajaan bawahan dari Kerajaan Larantuka.
Raja Don Lorenzo II berhasil menggalang dukungan dari raja-raja lain di Flores seperti Raja Don Alfonso dari Kerajaan Adonara dan Raja Don Dominggus dari Kerajaan Lembata.
Pemberontakan ini berlangsung selama beberapa bulan dengan sengit.
Namun akhirnya dapat dipadamkan oleh pasukan militer Belanda dengan bantuan dari beberapa kelompok etnis lokal yang pro-Belanda seperti suku Ende dan suku Ngada.
Banyak rakyat dan raja-raja Larantuka yang tewas atau ditangkap dalam pertempuran ini.
Setelah pemberontakan ini berhasil ditumpas, Belanda kemudian secara resmi membubarkan Kerajaan Larantuka pada tahun 1904 Masehi.
Wilayah kerajaan ini kemudian dibagi menjadi beberapa distrik atau onderafdeling yang diperintah oleh seorang kontrolir atau asisten residen Belanda.
Sistem monarki yang sudah ada sejak abad ke-13 Masehi pun berakhir di Flores.
Dengan demikian, zaman keemasan Kerajaan Larantuka sebagai kerajaan Kristen pertama di Nusantara pun berakhir secara tragis di bawah penjajahan kolonial Belanda.
Namun demikian, warisan budaya dan agama Kerajaan Larantuka masih terpelihara hingga kini.