Flexing atau pamer dilakukan untuk mencapai beragam tujuan, di antaranya menunjukan status dan posisi sosial, menciptakan kesan bagi orang lain, dan menunjukan kemampuan.
Rhenald Kasali, seorang dosen cum pakar bisnis, bilang, flexing banyak digunakan sebagai strategi pemasaran.
Flexing secara halus umumnya dilakukan para pembicara, lewat CV mereka akan menjelaskan latar belakang pendidikan, pencapaian, penghargaan dan lain-lain.
Hal itu bertujuan agar pendengar atau peserta yang hadir yakin dengan kapasitas dan kemampuan pembicara.
Sebagian orang juga melakukan flexing dengan memamerkan prestasi, hasil pencapaian pekerjaan, penghargaan di media sosial mereka.
Alih-alih promosi diri malah mendapatkan kesan norak, sombong, yang akhirnya merugikan diri sendiri, tandas Rhenald Kasali.
"Walaupun flexing jadi salah satu strategi marketing yang dilakukan untuk menarik konsumen, tetapi masih banyak strategi lain yang "jauh lebih baik" dibanding flexing berlebihan," kata Rhenald.
Menurut psikolog klinis personal Growth Stefany Valentina, flexing secara sederhana bisa diartikan sebagai pamer.
Dari sisi psikologis, Stefany menyebut orang pamer bisa jadi karena dua alasan.
Pertama, pamer karena memiliki sesuatu yang ingin dibanggakan dan hanya sekadar membagikannya ke orang lain.
"Bisa juga karena alasan dia punya sesuatu, tetapi yang dipamerkan ini bentuk insecurity, karena merasa dirinya kurang. Jadi merasa butuh memamerkan pencapaian itu supaya insecurity tadi tidak terlihat," kata Stefany saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/2/2022).
Menurutnya, flexing tidak melulu soal kekayaan dan harta, tetapi juga bisa pencapaian, keberhasilan, atau bahkan relationship.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR