Esha Rahmansyah Abrar dinonaktifkan dari Kemensetneg karena istrinya pamer kekayaan, flexing, di media sosial.
Intisari-Online.com -Lagi, seorang pejabat negara dicopot gegara sang istri pamer kekayaan di media sosial, kali ini menimpa Esha Rahmansah Abrar.
Esha adalah Kepala Subbagian Amdinistrasi Kendaraan Biro Umum Kementerian Sekretariat Negara.
Dalam keterangannya pada Minggu (19/3), Kepala Biro Humas Kemensetneg Eddy Cahyono Sugiarto mengatakan, penonaktifan Esha untuk memverifikasi benar atau tidaknya info yang beredar.
"Esha dinonaktifkan sementara dari jabatannya," ujar Eddy, dilansir Kompas.com.
Kita pun bertanya-tanya, kenapa orang suka pamer? Kenapa pejabat atau kelaurga pejabat suka spil harta kekayaannya di media sosial?
Mengutip dari Kompas.com, flexing alias pamer merupakan istilah yang digunakan untuk kamu yang sering pamer kekayaan.
Flexing kian marak setelah media sosial muncul.
Media sosial membuat pamer atau flexing yang awalnya terkesan tabu dan tidak pantas kini jadi hal yang lumrah.
Pernah ada masa ketika orang-orang begitu bangga menunjukkan isi saldo ATM-nya di media sosial.
Istilah flexing berbarengan dengan muncul istilah lainnya,sultan dan crazy rich.
Lalu apa tujuan seseorang flexing?
Flexing atau pamer dilakukan untuk mencapai beragam tujuan, di antaranya menunjukan status dan posisi sosial, menciptakan kesan bagi orang lain, dan menunjukan kemampuan.
Rhenald Kasali, seorang dosen cum pakar bisnis, bilang,flexing banyak digunakan sebagai strategi pemasaran.
Flexing secara halus umumnya dilakukan para pembicara, lewat CV mereka akan menjelaskan latar belakang pendidikan, pencapaian, penghargaan dan lain-lain.
Hal itu bertujuan agar pendengar atau peserta yang hadir yakin dengan kapasitas dan kemampuan pembicara.
Sebagian orang juga melakukan flexing dengan memamerkan prestasi, hasil pencapaian pekerjaan, penghargaan di media sosial mereka.
Alih-alih promosi diri malah mendapatkan kesan norak, sombong, yang akhirnya merugikan diri sendiri, tandas Rhenald Kasali.
"Walaupun flexing jadi salah satu strategi marketing yang dilakukan untuk menarik konsumen, tetapi masih banyak strategi lain yang "jauh lebih baik" dibanding flexing berlebihan," kata Rhenald.
Menurutpsikolog klinis personal Growth Stefany Valentina, flexing secara sederhana bisa diartikan sebagai pamer.
Dari sisi psikologis, Stefany menyebut orang pamer bisa jadi karena dua alasan.
Pertama, pamer karena memiliki sesuatu yang ingin dibanggakan dan hanya sekadar membagikannya ke orang lain.
"Bisa juga karena alasan dia punya sesuatu, tetapi yang dipamerkan ini bentuk insecurity, karena merasa dirinya kurang. Jadi merasa butuh memamerkan pencapaian itu supaya insecurity tadi tidak terlihat," kata Stefany saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/2/2022).
Menurutnya, flexing tidak melulu soal kekayaan dan harta, tetapi juga bisa pencapaian, keberhasilan, atau bahkan relationship.
Ia menuturkan, flexing masih dianggapnormal selama masih dalam batas wajar.
Sebab Stefany juga menyebut flexing merupakan salah satu cara untuk menghargai keberhasilan seseorang, tetapi bisa jadi bermasalah apabila dilakukan secara berlebihan.
"Kan enggak semua hal dipamerkan. Ada batasan-batasan tertentu yang memisahkan mana flexing yang wajar dan tidak," jelas dia.
"Misalnya habis selesai kuliah terus bisa lulus, terus memamerkan itu kan boleh aja, sebagai salah satu bentuk apresiasi diri juga. Jadi tak melulu dimaknai negatif," tambahnya.
Stefany menjelaskan, selama barang yang dipamerkan adalah milik pribadi dan hasil pencapaian diri, itu merupakan hal yang wajar.
Akan tetapi, apabila flexing dilakukan untuk menutupi kekurangan dirinya, justru ia tidak akan mengatasi akar masalahnya.
"Jadi kaya cuma menutupi insecurity itu dengan pamer. Lama-lama mungkin orang di sekitar jadi tidak suka dengan dia," ujarnya.