Sementara itu, kaum pribumi tidak berdaya untuk mencegahnya.
Sesudah Perang Dunia II berakhir ada kelonggaran untuk mendatangkan wanita Belanda ke Daerah perkebunan.
Hal itu karena baik kemajuan perusahaan maupun kondisi kehidupan keluarga Eropa semakin membaik.
Seiring dengan tingkat kehidupan para pegawai perkebunan yang mencapai taraf kemakmuran, maka semakin kurang ‘keliaran’ gaya hidup mereka.
Kedatangan wanita Belanda dalam jumlah yang relatif lebih besar dengan sendirinya mengurangi fungsi sistem pernyaian.
Diketahui umum bahwa sistem ini di mata rakyat dipandang hina dan seorang gundik betapa baiknya taraf kehidupan materialnya.
Para gundik hanya menghadapi cemooh, cerca dan celaan dari bangsanya sendiri.
Anak-anak yang dilahirkannya memperoleh status ayahnya dan lazimnya juga bersikap kurang hormat terhadap ibunya.
Meskipun status formalnya sama dengan kaum Belanda totok, dalam kenyataannya golongan peranakan dipandang rendah oleh kaum totok.
Di kalangan pribumi dia dijauhi atau dikucilkan maka tidak ada keleluasaan bergaul dengan komunitas pribumi.
Mengingat situasi seperti itu mudah dipahami dia tidak mempunyai peranan kultural yang berarti, jadi sifat kontaknya adalah kurang akulturatif.
Baca Juga: Para Gundik Berada dalam Satu Bangsal Bersama Seratus Serdadu KNIL
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR