Intisari-Online.com-Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke- 7,gundiksudah menjadi semacam kebutuhan.
Persoalanpergundikanmemang bukan sesuatu yang baru.
Namun baru pada pemerintahanJ.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.
Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.
Orang Belanda memang hobi memberikan nama profesi rendahan yang diambil dari orang-orang pribumi.
Salah satunya untuk menamakan pelacuran dengan sebutan Sarina.
Sarina merupakan bangsa pribumi yang berprofesi sebagai gundik.
Awalnya ia hanya melayani dan mengurus keperluan hidup para serdadu Eropa yang bertugas di Hindia Belanda.
Namun lama kelamaan, Sarina dijadikan sebagai wanita pelacur oleh para prajurit tersebut.
Seorang serdadu Belanda pernah bercerita dalam sebuah tulisan di sebuah majalah mengenai kehidupan seksual di tangsi militer.
Baca Juga:Gundik Firaun yang Mengaku Tuhan Ini Lebih dari 200 Perempuan, Berapa Banyak Anaknya?
Para serdadu, yang tinggal bersama istri, peliharaan (wanitanya), dan anak-anak dengan tempat tidur yang sempit, seperti tenda pengungsian bencana alam.
Tidak jarang, di antara serdadu itu ada yang menjual isterinya semalam suntuk untuk tidur dengan kawan serdadunya yang lain.
Selain itu masih banyak serdadu KNIL yang dijumpai masih senang mencari pelacur di sekitar tangsi.
Para anggota KNIL direkrut dari penduduk Eropa dan pribumi.
Tetapi karena banyaknya pemberontakan dan protes yang terjadi di beberapa wilayah Hindia Belanda, pemerintah Hindia Belanda membutuhkan lebih banyak lagi serdadu.
Maka dilakukan perekrutan para serdadu baru.
Para laki-laki yang mendaftar diri untuk menjadi tentara kolonial tidak hanya datang dari Belanda, tetapi juga dari bagian lain Eropa seperti Jerman, Swiss, Prancis, Austria, Polandia, dan Denmark.
Serdadu pribumi yang masuk dalam tentara kolonial biasanya sudah menikah.
Mereka juga sudah menjadi kepala keluarga di usia muda.
Hal ini terjadi karena kebiasaan perjodohan di kalangan orang Jawa.
Mereka pun yang telah menjadi tentara kolonial tidak serta merta melepaskan kehidupan sosial dan seksual mereka.
Baca Juga: Kehidupan Gundik: Urusan Biologis Serdadu Tak Boleh Dikesampingkan, Jika Tak Mau Dikecam
Mereka oleh pemimpin KNIL, Jenderal Haga, diizinkan untuk melanjutkan hubungan di dalam tangsi.
Sedangkan para serdadu pribumi maupun Eropayang lajang diizinkan hidup bersama tanpa pernikahan dengan perempuanpribumi di dalam tangsi.
Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kecemburuan dan kemarahan tentara kolonial yang masih lajang.
Baca Juga: Awalnya Kerja di Warung Makan, Kemudian Jadi Gundik di Barak Militer Serdadu KNIL
(*)