Para Gundik Berada dalam Satu Bangsal Bersama Seratus Serdadu KNIL

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

(Ilustrasi) Kamp tawanan Belanda di Jakarta - Persoalan pergundikan memang bukan sesuatu yang baru
(Ilustrasi) Kamp tawanan Belanda di Jakarta - Persoalan pergundikan memang bukan sesuatu yang baru

Intisari-Online.com-Persoalanpergundikanmemang bukan sesuatu yang baru.

Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke-17,gundiksudah menjadi semacam kebutuhan.

Ada yang menarik dengan kehidupan antara serdadu denganpara gundik yang tinggal dalam tangsi militer.

Para anggota KNIL direkrut dari penduduk Eropa dan pribumi.

Tetapi karena banyaknya pemberontakan dan protes yang terjadi di beberapa wilayah Hindia Belanda, pemerintah Hindia Belanda membutuhkan lebih banyak lagi serdadu.

Maka dilakukan perekrutan para serdadu baru.

Para laki-laki yang mendaftar diri untuk menjadi tentara kolonial tidak hanya datang dari Belanda

Merekai juga datang dari bagian lain Eropa seperti Jerman, Swiss, Prancis, Austria, Polandia, dan Denmark.

Perkembangan KNIL hingga September tahun 1922, KNIL membagi kekuatannya di Jawa dalam dua Divisi.

Divisi pertama dengan komandan jenderal mayor yang merangkap sebagai komandan territorial Jawa pertama dengan kedudukan sama di Waltevreden (Jakarta).

Sedangkan Divisi kedua juga dipimpin seorang jenderal mayor dan mengawasi daerah territorial Jawa kedua dengan kedudukan di Magelang.

Baca Juga: Pengembara dan Pencari Harta: Alasan Pergundikan Bukanlah Hubungan Perkawinan

Kehidupan antara serdadu dengan perempuan-perempuan yang tinggal dalam tangsi digambarkan Mantan Perwira KNIL, S.E.W. Roorda van Eysinga dengan sangat memprihatikan.

Hubungan badan di dalam barak militer selayaknya hewan, karena mereka melakukan hubungan badan dalam tangsi tanpa sekat-sekat yang menutup di setiap tempat tidur.

Ratusan prajurit tidur bersama gadis atau pembantu rumah tangga mereka di tempat tidur.

Hal itu terjadi bahkan tidak dipisahkan oleh tirai satu dengan lainnya.

Tanpa megindahkan kesopanan mereka bercinta, di hadapan para penghuni lain, tak ubahnya seperti seekor sapi.

Pada paruh kedua abad ke-19, praktik hidup bersama menjadi kehidupan baru dalam tangsi-tangsi di Hindia Belanda.

Mereka kadang berada dalam satu bangsal bersama seratus serdadu.

Para serdadu itu tidur dengan “gundik-gundiknya” di tempat tidur kayu tanpa tirai dan bersenggama “tanpa rasa kesopanan.”

Untuk memiliki seorang gundik, seorang anggota tentara harus memberi bukti kelakuan baik dari perempuan yang bersangkutan.

Bukti ini harus diberikan oleh pihak berwenang setempat dan kemudian diterima secara resmi oleh panglima militer.

Jika terbukti benar, maka sang pemohon diberi izin dan secara resmi sang gundik diizinkan bergabung dengan militer dalam tangsi.

Baca Juga: Harus Disetujui Panglima Militer, Ini Syarat Khusus Bagi Serdadu Kolonial untuk Punya Gundik

Gundik tersebut lalu didata di dalam daftar khusus.

Di dalamnya dicatat nama, tempat kelahiran, nama anggota militer yang bersamanya dan tanggal masuknya.

Baca Juga: Tak Hanya Jawa, Barak Militer di Aceh Juga Pernah Mempraktikkan Pergundikan

(*)

Artikel Terkait