Intisari-Online.com-Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke- 7,gundiksudah menjadi semacam kebutuhan.
Persoalanpergundikanmemang bukan sesuatu yang baru.
Namun baru pada pemerintahanJ.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.
Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.
Bagi bangsa Belanda, menikahi perempuan-perempuan pribumi asli maupun yang berdarah campuran di Hindia Belanda adalah hal normal.
Masalah pergundikan atau pernyaian dalam masyarakat Hindia Belanda memang unik.
Bahkan bangsa kulit putih telah menjalani hidup bersama dengan perempuan-perempuan pribumi tidak hanya di Hindia Belanda saja.
Tetapi hampir di semua masyarakat kolonial, di Asia, Afrika, atau Amerika Selatan.
Kehidupan kolonial di mana-mana tampaknya agak digenangi oleh masalah seks.
Pertemuan dua ras yang berbeda berkembang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bentangan pertemuan budaya ini.
Pertemuan dan percampuran antar ras menjadi bagiandari moral dan kebiasaan di wilayah Hindia Belanda, yaitu laki-laki lajang, baik dari kelas atas maupun kelas bawah akan hidup bersama dengan seorang nyai.
Baca Juga:Ramuan Khusus Keperkasaan Raja Jawa yang Punya 45 Gundik, Apa Itu?
Hidup bersama seorang gundik atau nyai memberikan beberapa keuntungan.
Hal itu dirasa menyenangkan bagi para laki-laki Eropa karena pernyaian menjamin keadaan yang tidak mengikat.
Pernyaian merupakan gejala yang umum dan dapat diterima oleh banyak orang sebagai suatu cara penyesuaian diri laki-laki Eropa lajang demi kelangsungan hidup di tanah koloni.
Menurut perkiraan terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni hidup bersama seorang nyai pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19.
Menjelang akhir abad ke-19 sudah sangat biasa jika seorang laki-laki Eropa mengambil seorang nyai, begitu juga dari sudut pandang penduduk pribumi.
Seorang laki-laki yang dikirim ke Hindia Belanda dan tidak menjalin hubungan dengan perempuan adalah sesuatu yang mustahil.
Menahan diri dari urusan kebutuhan biologis pun dikecam.
Hal itu akan memicu adanya perilaku menyimpang yang asusila.
Bahkan semasa pendidikan di Belanda, para calon pegawai pemerintah mendengar dari para dosen bahwa hubungan dengan seorang nyai adalah hal yang dianjurkan, setidaknya selama tahun-tahun pertama mereka di Hindia Belanda.
Saat itu praktik pernyaian adalah hal yang sudah biasa dijumpai dan dianggap wajar dalam masyarakat Eropa.
Laki-laki Eropa ini menikmati keuntungannya tetapi tidak mau menanggung kerugiannya.
Baca Juga: Jika 'Babu' Cantik, Maka Ia Dijadikan Gundik oleh Majikan Eropanya
Hidup dalam pergundikan atau pernyaian memberikan dampak keteraturan terhadap perilaku hidup sang laki-laki Eropa.
Mempunyai seorang nyai akan menahan laki-laki Eropadari minuman keras, menjauhkan dari para pelacur, dan menjaga pola pengeluaran.
Selain itu seorang nyai dapat menjelaskan bagaimana kehidupan di Hindia Belanda kepada tuan Eropa-nya.
Nyai dapat mengajarkan bahasa pribumi dan memperkenalkan adat istiadat dan kehidupan di Hindia Belanda.
Baca Juga: Tak Hanya Jawa, Barak Militer di Aceh Juga Pernah Mempraktikkan Pergundikan
(*)