UU tersebut juga mengatakan bahwa pecandu dan pengedar dapat dikenai sanksi pidana penjara, denda, rehabilitasi medis dan sosial, hingga pidana mati.
Sementara mengenai hukuman mati, telah menuai penolakan sejak lama. Alasannya karena hukuman mati dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Hukuman mati dianggap tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti yang tertuang dalam Pancasila.
Kontroversi mengenai hukuman mati salah satunya muncul karena amandemen kedua Pasal 28A dan 28I Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, termasuk negara.
Dengan masih diberlakukannya hukuman mati, pihak yang tidak setuju menganggap bahwa negara telah merampas hak yang bersangkutan untuk hidup.
Atas dasar itulah, pidana mati dinilai sebagai hukuman yang melanggar HAM.
Selain itu, masyarakat yang kontra menganggap hukuman mati juga tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan, yakni untuk menghalangi orang dari perbuatan kejahatan, dan bukan balas dendam.
Hukuman mati dianggap tidak bisa menghilangkan kejahatan di masyarakat.
Dampak dari eksekusi mati terdadap peredaran narkoba seperti hukuman lainnya yang diharapkan untuk menimbulkan efek jera juga masih terus diperdebatkan.
Salah satunya diungkapkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS).
Baca Juga: Bagaimana Pengaruh Organisasi Budi Utomo Terhadap Peristiwa Sumpah Pemuda 1928
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR