Untuk mengatasi masalah itu, para wanita pun mengecat gigi mereka dengan warna hitam yang kontras dan eye catching.
Ketika gigi seseorang diperlihatkan, sebuah ilusi tercipta di mana senyum lebar ditampilkan tanpa memperlihatkan giginya.
Selain sebagai pernyataan kecantikan, praktik Ohaguro dikatakan dapat memperkuat gigi dan melindungi seseorang dari masalah gigi seperti gigi berlubang dan penyakit gusi.
Disebut juga bahwa samurai berlatih Ohaguro untuk menunjukkan kesetiaan mereka terhadap tuan mereka.
Ohaguro terus dipraktekkan selama periode sejarah Jepang berikutnya.
Pada zaman Edo (abad 17 – 19 M), praktik ini telah menyebar dari kelas bangsawan ke kelas sosial lainnya juga.
Selama periode tersebut, Ohaguro umumnya dipraktikkan di antara wanita yang sudah menikah, wanita yang belum menikah di atas 18 tahun, pelacur, dan geisha.
Dengan demikian, gigi hitam menandakan kematangan seksual seorang wanita.
Hingga kemudian pada periode Meiji yang menggantikan periode Edo, praktik Ohaguro mulai ditinggalkan.
Sebagai bagian dari upaya pemerintah Jepang baru untuk memodernisasi negara, Ohaguro dilarang pada tahun 1870.
Tren baru di Jepang yang berkaitan dengan gigi akhirnya berubah seperti sekarang ini, yaitu menjaganya tetap putih.
Mode baru tersebut 'didukung' pada tahun 1873 ketika Permaisuri Jepang sendiri muncul di depan umum dengan deretan gigi putih yang mempesona.
Maka segera, gigi putih dianggap sebagai tanda kecantikan, dan Ohaguro perlahan kehilangan daya tariknya di kalangan orang Jepang.
Ohaguro akhirnya menghilang di antara masyarakat umum di Jepang, namun terkadang masih dapat dilihat di tempat tinggal Geisha di Kyoto.
Baca Juga: Pernah Buat Orang 'Tergila-gila', Ini 5 Standar Kecantikan dan Kejantanan Berkelas Zaman Kuno
(*)
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR