Intisari-Online.com - Ulang tahun Yogyakarta ke-266 tengah dirayakan.
Hari ulang tahun Kota Yogyakarta sendiri jatuh pada tanggal 7 Oktober 2022.
Namun, rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Yogyakarta ini berlangsung antara tanggal 1-9 Oktober besok.
Ada berbagai agenda, misalnya hari ini diselenggarakan Jogja Mandiri Fashion Day di Pasar Beringharjo, kemudian Malioboro Night Coffee di Jalan Jenderal Soedirman malam nanti.
Sementara besok, hari terakhir rangkapan acara HUT Kota Yogyakarta ke-266, ada malam apresiasi di Balai Kota.
Tahun ini HUT Yogyakarta mengusung tema "Sulih, Pulih, Luwih".
Sulih berarti berpindah dan beradaptasi dalam keadaan baru yang lebih baik, pulih berarti sembuh, dan luwih berarti berkembang menjadi lebih baik.
Tema tersebut dimaknai sebagai bentuk kondisi Kota Yogyakarta saat ini yang berhasil melewati pandemi Covid-19 dengan fase lebih baik.
Semangat yang dibangun adalah semangat untuk menunjukan tekad bersama bangkit menuju pada situasi normal dan kondusif.
Kota Yogyakarta yang telah berumur 266 tahun telah melewati sejarah panjang.
Jika dalam beberapa tahun terakhi Kota Yogyakartam seperti berbagai wilayah lainnya di Indonesia dan juga dunia harus menghadapi pandemi Covid-19, berbeda dengan bentuk perjuangan di masa lalu.
Salah satu kisah perjuangan Kota Yogyakarta adalah ketika kota ini harus melalui masa penjajahan Jepang.
Inilah sepenggal kisah perjuangan Yogyakarta, kota yang kini tengah rayakan ulang tahun ke-266.
Periode 1942-1945 menjadi masa penajajahan Jepang di Indonesia.
Saat itu, kehidupan rakyat Indonesia tak kalah merana, bahkan berkali lipat lebih merana dibandingkan saat dijajah Belanda yang berlangsung ratusan tahun.
Jepang yang tengah menghadapi Perang Dunia II melawan sekutu berlaku seenaknya merampas apa saja yang dimiliki Indonesia.
Mulai dari hasil pertambangan, hasil pertanian, tenaga manusia, dan bahkan para perempuan Indonesia yang dijadikan wanita penghibur (jugun ianfu).
Pengambilan paksa tenaga manusia itu dikenal sebagai romusha.
Jepang mengambil berupa pekerja dari berbagai daerah, memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti membangun jembatan, jalan raya, rel kereta api, benteng pertahanan, dan lainnya.
Umumnya mereka diperlakukan sebagai tawanan perang dan banyak yang mati karena kelaparan.
Romusha menjadi momok paling mengerikan bagi masyarakat kala itu.
Namun rupanya, Kasultanan Yogyakarta warganya relatif aman dari program mengerikan Jepang itu.
Hal tersebut tak lepas dari peran Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwana IX (disingkat Sultan HB IX).
Sri Sultab HB IX berhasil mengibuli Jepang dengan siasat cerdiknya, melepaskan penduduk Yogyakarta dari romusha.
Cara yang dilakukan Sultan HB IX yaitu dengan meminta agar Jepang membantu pembangunan program irigasi untuk mengalirkan air dari Sungai Progo ke daerah-daerah pelosok.
Itu dilakukan agar tanah di sana bisa ditanami padi.
Jika panenan padi melimpah, hasilnya sesuai aturan yang diterapkan Jepang saat itu.
Walhasil, panenan tersebut bisa untuk membantu pangan pasukan Jepang yang sedang bertempur melawan Sekutu.
Pembangunan irigasi itu menjadi siasat cerdik Sultan HB IX melepaskan penduduk Yogyakarta dari romusha.
Sultan HB IX meminta agar warga Yogyakarta tidak diikutkan dalam program Romusha, dengan alasan bahwa untuk membangun saluran irigasi dibutuhkan banyak tenaga manusia.
Maka, semua warga laki-laki Yogya yang sudah bisa bekerja diwajibkan ikut membangun irigasi secara gotong-royong, alih-alih mengikuti program Jepang yang dikenal sebagai romusha.
Di luar dugaan, seperti termaktub dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwana IX, pemerintah militer Jepang di Indonesia yang dikenal sangat kejam dan tidak mengenal kompromi ternyata menyetujui permintaan Sultan HB IX.
Jepang bahkan membantu dana dan berbagai peralatan untuk membangun saluran irigasi yang kini dikenal sebagai Selokan Mataram itu.
Keberadaan Selokan Mataram pun hingga saat ini terus dipelihara dan dihormati warga Yogyakarta.
Selain begitu bersejarah bagi Yogyakarta, selokan itu juga terbukti bisa menjamin warga tidak mengalami kekeringan dan tetap panen padi meski sedang musim kemarau.
Itulah sepenggal kisah perjuangan Kota Yogyakarta, kota yang saat ini tengah merayakan ulang tahun ke-266.
(*)