Intisari-Online.com – Di sebuah pasar loak Suva, ibukota Fiji, terdapat sebuah toko kecil sederhana yang tersembunyi.
Di salah satu rak terilhat gigi paus sperma besar yang dipoles tergantung di tali.
Di Fiji, ini dikenal sebagai tabua, atau tambua, selain sebagai gigi paus sperma, ini memiliki peran budaya yang penting dalam masyarakat Fiji.
Gigi paus sperma itu diberikan sebagai hadiah untuk penebusan dosa atau penghargaan (disebut sevusevu) dan penting dalam negosiasi antara pemimpin saingan.
Gigi paus sperma sering diberikan oleh pengantin pria dan keluarganya kepada orangtua calon pengantin wanita ketika dia meminta izin untuk menikahinya.
Orang mati di Fiji terkadang ingin dikuburkan dengan tabu mereka, bersama dengan tongkat perang dan bahkan istri mereka dicekik, untuk membantu mereka di akhirat.
Tabua juga diberikan dalam pemakaman dan kelahiran dan juga berfungsi sebagai alat untuk menutupi permintaan maaf.
“Saya memberikan tabua, itu berarti ‘saya mencintaimu’ dari dalam.”
Tabua secara kasar diterjemahkan sebagai ‘suci’ dalam bahasa Fiji.
Merupakan peninggalan berharga dari nenek moyang, yang terkait dengan keberuntungan dan kekuatan gaib.
Secara tradisional ini membuka jalan bagi pernikahan di negara berpenduduk lebih dari 300 orang ini selama bertahun-tahun.
Dengan sedikit negara yang masih memanen ikan paus dan undang-udang yang membatasi perdagangan internasional speses yang terancam punah seperti paus sperma dan spesimennya, menjadikan jumlah tabua yang beredar di Fiji semakin berkurang.
Akibatnya, harga tabua menjadi naik.
Satuu gigi yang digantung dengan tali yang dikepang sebagai liontin besar pada kalung, bisa berharga ratusan bahkan ribuan dolar.
Waisake Lalanabaravi, saat menjamu di desanya, menunjukkan tabua yang dia simpan di rumahnya, yang dikumpulkannya untuk digunakan di masa depan.
Putra pertamanya, seperti yang dikisahkannya, memutuskan untuk menikah, dia memberi 15 tabua, masing-masing senilai 400-500 dolar.
Anak keduanya itu dia berikan sebanyak 12 tabua, maka sekarang dia mengumpulkan dan menyimpan tabua untuk anak berikutnya.
Sebagian besar tabua itu dia beli sendiri, tetapi sebagai orang yang dihormati di klan, maka dia juga menerima beberapa dari masyarakat yang diberi nasihat baik atau sebagai rasa terima kasih.
Meskipun biayanya tinggi, memberi tabua ‘masih hidup’ dan merupakan bagian dari budaya Fiji, jelas Waisake.
Praktik itu terutama lebih banyak dilakukan di pedesaan, tetapi di perkotaan, tradisi itu terus berlanjut di kalangan keluarga, melansir expatlifeinthailand.
Wanita penjaga toko di pasar kerajinan di pusat kota Suva, duduk di belakang sebuah kios kecil yang dikelilingi tikar, tas, dan kipas yang dianyam dari daun pandan.
Dia menyimpan persediaan tabua dengan membelinya dari keluarga yang mengalami masalah keuangan.
“Begitu mereka mengalami kendala keuangan, saat itulah mereka menjual barang-barang ini,” katanya.
Membeli tabua sebelum pertunangan juga tentang sebuah status, ‘ini berarti keluarga pria cukup kaya’.
Lalu, dia menarik dari balik kantong plastik biru berisi setengah lusin gigi paus sperma dan meletakkannya di atas meja.
Ada yang cream, ada yang memiliki rona cokelat, dengan ukuran bervariasi dari sepanjang tangan hingga sepanjang lengan bawah, biaya terbesar sekitar $1.000 (sekitar Rp15 juta).
Sebagai kota dengan nuansa kota besar, Suva memiliki penduduk sekitar 90.000 orang.
Bus warna-warni menyumbati jalan-jalan sempit, jendela tanpa kaca membuat kelembapan lebih dipertahankan.
Jantung kota juga berwarna-warni, pasar buah, sayur, dan bunga tempat penduduk desa melakukan perjalanan sehari-hari untuk menjual hasil bumi mereka.
Namun, area yang paling menarik adalah para penjual tabua.
Sebelum Fiji menjadi koloni Inggris pada akhir 1800-an, jika seorang kepala suku menginginkan seseorang terbunuh dan tidak dapat melakukannya sendiri, maka dia menawarkan tabua kepada suku lain untuk mengatasi masalah tersebut.
Seperti kasus misionaris Inggris abad ke-19 yang malang, Pendeta Thomas Baker, yang disebut menyinggung seorang kepala desa, yang kemudian menawarkan tabua kepada suku lain untuk membunuh Baker.
Pada tahun 2003, keturunan para pembunuh (yang mungkin juga memakannya) mempersembahkan 100 tabua kepada leluhur misionaris dalam upaya untuk mematahkan apa yang dianggap sebagai kutukan di daerah tersebut.
Seorang pembeli yang memasuki toko, memberi tahu bahwa dengan membeli tabua maka dia menunjukkan bahwa dia ‘bersedia mengambil tanggung jawab untuk menjadi seorang suami dan seorang ayah’.
Tetapi pria itu ingin menjadi seorang suami dan ayah dengan menggunakan gigi paus sperma asli dan bukan tiruan.
Beredar juga di pasaran tabua yang terbuat dari plastik, sehingga penjal wanita ini memberikan tips untuk mengidentifikasi yang palsu.
Katanya, “Kami menggunakan korek api untuk menyalakan tabua, jika meleleh, berarti itu yang palsu.”
Hingga sekarang, tabua menjadi barang penting dalam kehidupan Fiji.
Ini diperdagangkan sebagai hadiah di pernikahan, ulang tahun, dan di pemakaman.
Tabua juga semakin banyak dipergunakan dalam periklanan sebagai simbol atau merek terpercaya, misalnya Fiji Airways memiliki Tabua Club (frequent flyer) dan Kelas Tabua untuk kelas bisnis.
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari