Penulis
Intisari-Online.com – Ritual atau kebiasaan-kebiasaan sebuah suku dalam menjalani pernikahan tentunya berbeda-beda.
Bisa dimaklumi bila dalam pernikahan ada tangisan, terutama tangisan bahagia, terutama dari pengantin wanita.
Seperti ritual ‘tangisan pernikahan’ yang sudah ada sejak lama di banyak daerah di Provinsi Sichuan, China Barat Daya, dan tetap populer hingga akhir Dinasti Qing (1644-1911).
Meski tidak sepopuler sebelumnya, adat ini masih dipatuhi oleh masyarakat di banyak tempat, terutama masyarakat suku Tujia, yang memandangnya sebagai prosedur pernikahan yang wajib.
Tradisi ini sangat mirip di berbagai tempat di provinsi ini.
Menurut orang tua, setiap pengantin harus menangis di pesta pernikahan.
Jika tidak, tetangga mempelai wanita akan memandang rendah dirinya sebagai gadis yang kurang berbudaya dan akan menjadi bahan tertawaan desa.
Bahkan, ada kasus di mana pengantin wanita dipukuli ibunya karena tidak menangis di pesta pernikahan, melansir China Daily.
Selama Periode Negara-negara Berperang (475-221 SM), seperti yang diungkapkan oleh catatan sejarah, putri Negara Zhao menikah dengan Negara Yan untuk menjadi seorang ratu.
Ibunya, saat titik keberangkatan putrinya, menangis di kakinya dan memintanya untuk kembali ke rumah sesegera mungkin.
Belakangan, kisah itu disinggung sebagai asal mula ritual ‘tangisan pernikahan’.
Di Provinsi Sichuan barat, kebiasaan ini disebut ‘Zuo Tang (duduk di aula)’.
Biasanya, pengantin wanita mulai menangis sebulan sebelum hari pernikahan.
Saat malam tiba, pengantin wanita berjalan di dalam aula dan menangis selama sekitar satu jam.
Sepuluh hari kemudian, ibunya bergabung dengannya, menangis bersamanya.
Sepuluh hari kemudian, sang nenek bergabung dengan putri dan ibunya untuk menangis bersama mereka.
Saudari dan bibi dari pengantin wanita, jika ada, juga harus ikut menangis.
Pengantin wanita mungkin menangis dengan cara yang berbeda dengan kata-kata yang beragam pula, bahkan ada nyanyian yang membantu meningkatkan suasana pernikahan, yaitu ‘Lagu Tangisan Pernikahan’.
Yang jelas, menangis di pesta pernikahan ini bukan berarti menangis duka, namun cara adat memicu kebahagiaan pernikahan melalui kata-kata sedih yang palsu.
Dalam perjodohan China zaman dulu, memang cukup banyak pengantin yang menangisi pernikahan mereka yang tidak bahagia, bahkan kehidupan mereka yang menyedihkan.
Mengumpat pada mak comblang, dulunya merupakan bagian penting dari ritual ‘tangisan pernikahan’ sekaligus bagian yang paling memberontak.
Dalam masyarakat lama, wanita terikat oleh apa yang disebut ‘tiga ketaatan dan empat kebajikan’, sehingga tidak memiliki suara dalam pernikahan mereka, yang semuanya diatur oleh mak comblang dan orang tua.
Maka, pengantin wanita sering kali memaki mak comblang sebelum melangkah ke dalam mobil pernikahan, yang dilihat sebagai bentuk ketidakpuasan dan kebencian mereka terhadap sistem perkawinan lama.
Hal itu tercermin dalam opera lokal dan bentuk seni rakyat lainnya.
Dalam sebuah adegan yang disebut ‘Yingtai Bersumpah di Matchmaker’ di Opera Sichuan pada pencinta kupu-kupu.
Dalam opera tersebut, Zhu Yingtai dengan keras memarahi mak comblang dengan kata-kata menangis yang tajam, yang menunjukkan karakternya yang kuat dan kebenciannya terhadap sistem feodal.
Adegan tersebut dihapus, karena kebiasaan mengumpat pada mak comblang tidak lagi ada di banyak tempat, terutama di kota-kota.
Sementara, di pedesaan, mak comblang masih memainkan peran penting dalam pernikahan, yang membuat wanita terus bersumpah pada mereka dalam ritual tangisan pernikahan.
Namun, dikatakan bahwa mak comblang tidak pernah takut dimarahi, yang berarti mereka tidak akan pernah menyingkirkan nasib buruk, karena karakter China untuk mak comblang adalah homonim untuk nasib buruk.
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari