Koleksi Puisinya Menangkan Penghargaan Namun Hidupnya Alami Depresi, Inilah Sylvia Plath, Wanita Pertama yang Menangkan Hadiah Pulitzer

K. Tatik Wardayati

Editor

Sylvia Plath, karya besarnya tidak bisa memenangkan hidupnya dari depresi.
Sylvia Plath, karya besarnya tidak bisa memenangkan hidupnya dari depresi.

Intisari-Online.com – Memiliki banyak koleksi puisi, Sylvia Plath juga dikenal dengan novelnya yang terkenal The Bell Jar.

Karena menderita depresi, dia mengakhiri hidupnya sejak dini.

Setelah kematiannya, karyanya meningkat popularitasnya dan dia menjadi wanita pertama yang memenangkan Hadiah Pulitzer secara anumerta.

Sylvia Plath lahir pada tanggal 27 Oktober 1932 di Boston, Massachusetts.

Sebagai seorang anak kecil, dia sangat kreatif.

Pada tahun 1950, Sylvia Plath menerima beasiswa di Smith College setelah menerbitkan beberapa karya.

Saat menjadi mahasiswa, dia mulai bekerja untuk Majalah Mademoiselle pada tahun 1953 sebagai editor.

Sayangnya, pekerjaan ini hanya membawanya pada kebahagiaan yang sesaat.

Tidak lama setelah dia menerima pekerjaan itu, Plath berusaha bunuh diri dengan minum obat tidur.

Insiden ini membawa Sylvia Plath ke lembaga kesehatan mental tempatnya bisa menerima perawatan yang dibutuhkannya.

Dia akhirnya kembali ke perguruan tinggi dan menerima gelar pada tahun 1955.

Setelah Sylvia Plath lulus dari Smith College, dia kemudian kuliah di Universitas Cambridge melalui Fulbright Fellowship.

Selama dia tinggal di Inggris, Plath bertemu calon suaminya, Ted Hughes.

Mereka menikah pada tahun 1956, tetapi sayangnya, hubungan mereka bermasalah.

Satu tahun kemudian, Plath pindah kembali ke Amerika Serikat untuk mengajar bahasa Inggris di Smith College.

Waktu yang dihabiskannya di AS singkat, dia akhirnya pindah kembali ke Inggris pada tahun 1959.

Sekembalinya ke Inggris, Plath dapat melihat koleksi puisi pertamanya yang diterbitkan pada tahun 1960 berjudul ‘The Colossus’.

Ini adalah tahun yang sangat besar bagi Plath, karena dia juga melahirkan putri pertamanya yang diberinya nama Freida.

Beberapa tahun kemudian, Plath melahirkan anak keduanya, Nicholas.

Meski terlihat bahagia, namun Ted Hughes meninggalkan Sylvia Plath pada tahun 1962 untuk wanita lain.

Inilah yang membawa Plath ke dalam pusaran ke bawah.

Menyalurkan depresinya ke dalam kreativitas, Sylvia Plath mulai mengerjakan satu-satunya novelnya yang berjudul The Bell Jar.

Novel tersebut kemudian diterbitkan dengan nama samaran Victoria Lucas.

Sayangnya, menyalurkan depresinya ke dalam kreativitas tidak membantu Plath mengatasi masalah kehidupan nyatanya.

Sylvia Plath meninggal pada 11 Februari 1963 setelah dia bunuh diri.

Meskipun hidupnya singkat, Sylvia Plath telah tercatat dalam sejarah sebagai salah satu penyair wanita paling berpengaruh.

Setelah kematiannya, koleksi puisi lain diterbitkan dan Plath bahkan memenangkan Hadiah Pulitzer pada tahun 1982.

Orang-orang terus membaca dan mencintai karyanya hari ini dan dia akan selamanya dikenang untuk karya inspirasionalnya.

Baca Juga: Dari Balita Kelaparan Hingga Eksekusi Mati, Foto-foto Ikonik Ini Menyimpan Kisah-kisah Pilu

Baca Juga: Kukuh Tulis Gembar-gembor Filantropi Donald Trump, Wartawan Ini Diganjar Hadiah Pulitzer

Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari

Artikel Terkait