Intisari-Online.com-Para penguasa danelite masyarakat di banyak peradaban kuno biasanya tak hanya memiliki seorang istri.
Mereka juga memilikiselir atau gundik untuk beberapa tujuan.
Tujuannya yakni untukmeningkatkan prestise pria melalui kemampuannya untuk menghasilkan anak.
Tak hanya itu, kepemilikan akan gundik jugakesempatan tak terbatas untuk memanjakan hasrat seksual mereka.
Dalam Islam, mengambil selir juga diperbolehkan.
Bunyi surat An-Nisa ayat ketiga dalam Al-Quran menyatakan bahwa seorang pria dapat menikah dengan maksimal empat wanita jika dia dapat memperlakukan mereka dengan adil.
Adapun jika dia tidak mampu menjadi adil di antara istri-istri yang banyak, dia hanya boleh menikahi satu wanita atau bergantung pada budak perempuan atau selirnya.
Selir dianggap dapat diterima sebagai kebutuhan sosial hanya di bawah pedoman tertentu.
Pada zaman kuno, mengambil dua selir pernah diizinkan di bawah rezim Islam.
Praktik mengambil selir dari kalangan wanita non-Muslim yang diambil sebagai tawanan perang pernah terjadi setelah Pertempuran Bani Qariza.
Sebelumnya, di zaman kuno (Pagan/Pra-Islam), jual beli budak manusia pun merupakan praktik yang legal secara sosial.
Namun, setelah hadirnya Islam, ajaran agama ini menganjurkan untuk membebaskan para budak perempuan atau membawa mereka ke dalam pernikahan formal.
Dalam kebudayaan China,'Kota Terlarang' adalah tempat para selir dan wilayah pribadi kaisar, tidak ada pria lain yang diizinkan untuk berlama-lama di sana.
Pejabat, personel militer, dan bahkan kerabat laki-laki kaisar diharuskan meninggalkan Istana Dalam pada malam hari.
Satu-satunya pria yang diizinkan untuk tinggal di sana adalah parakasimyang sudah dikebiri.
Budak yang dikebiri atau orang kasim biasanya lebih dapat dipercaya karena tak akan menghamili majikan wanitanya.
Sementara di Persia, kebiri sudah dipraktikkan 3.000 tahun sebelum masehi.
Kasim diposisikan sebagai pendeta yang disucikan.
Namun banyak juga orang kasim kala itu yang berprofesi sebagai pemusik, penyanyi, pelayan, koki, tentara, penjaga harem, dan pegawai.
Raja-raja Persia biasa mengambil penduduk terbaik dari tanah jajahan untuk dikebiri dan melayani kerajaan.
Kerajaan Asyur atau Asiria mengirimkan 500 bocah kasim ke Raja Darius I setiap tahun.
Begitu juga Etiopia yang wajib mengirimkan 100 orang kasim ke Persia setiap tahun.
Setelah Islam berkembang, kebiri tak terlalu diakui.
Nabi Muhammad sendiri tak memiliki budak yang dikebiri.
Kendati demikian, budaya memiliki harem di peradaban Timur Tengah membuat kebiri masih dipraktikkan.
Orang kasim adalah pelayan yang dipercaya untuk menjaga harem, tempat yang berisi sejumlah wanita.
Harem baru dilarang di Arab pada tahun 1962.
(*)