Intisari - Online.com -Presiden Joko Widodo sedang disibukkan dengan agenda padat di Eropa, setelah sebelumnya mengikuti KTT G7 di Elmau, Jerman, kini Jokowi bertemu dengan dua tokoh politik high profile di dunia.
Seperti diketahui, Jokowi bertemu dengan dua pemimpin dari dua negara yang sedang berseteru sejak Februari 2022, yaitu Volodymyr Zelensky Presiden Ukraina, dan Vladimir Putin Presiden Rusia.
Beberapa pihak menanyakan mengapa Indonesia turun langsung dalam misi perdamaian ini, dengan mengingat Indonesia bukanlah negara yang cukup memiliki sumber daya secara geopolitik dan ekonomi.
Namun, Jokowi dianggap telah menjalankan tugas besar Indonesia seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia bertugas ikut terlibat dalam urusan perdamaian dunia.
Langkah Jokowi ini menyusul langkah Turkiye dan Israel yang turun untuk misi perdamaian menghentikan perang Rusia-Ukraina.
Melansir Kompas.com, walaupun sebenarnya kehadiran Jokowi mungkin hanya seremonial, tapi langkah Jokowi patut diacungi jempol, seperti dikatakan oleh Jannus TH Siahaan, Doktor Sosiologi dari Universitas Padjajaran.
Langkah Jokowi hanya bersifat seremonial karena perdamaian Ukraina dan Rusia tetap berada di tangan Rusia dan Dunia Barat, seperti disebutkan berbagai pakar geopolitik dan geostrategi.
Jannus menyebut Indonesia mungkin hanya menawarkan kursi di KTT G20 saja.
Walaupun tawaran itu tidak begitu penting, terutama bagi Vladimir Putin.
Presiden Rusia itu sudah mengalami kondisi canggung di tahun 2014 lalu, tepatnya di KTT G20 Brisbane, Australia.
Saat itu, Putin duduk menghabiskan makanannya sendiri, tanpa ditemani pemimpin negara lain.
Alhasil, Putin pulang lebih cepat dari jadwal yang sudah ditetapkan.
Penyebab hal ini adalah karena Rusia menyerang Krimea pada tahun itu.
KTT G20 kala itu juga tidak berhasil menghentikan serangan Rusia, dan Krimea juga tidak kembali ke Ukraina.
Putin menganggap persoalan dengan Ukraina adalah masalah yang dibuat oleh dunia Barat, bukan masalah dari Rusia.
Ketegasan Putin membuat Rusia dikeluarkan dari keanggotan G8 setelah itu, membuat nama forum itu kembali ke G7.
Itulah sebabnya bagi Putin, perkara perang atau damai ada di tangan Dunia Barat, bukan Indonesia.
Dunia Barat berupaya menghentikan usaha Rusia melebarkan wilayah Ukraina dan mendemiliterisasi daerah-daerah di Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia.
Situasi akan terus seperti ini jika Barat mendukung Ukraina guna menggagalkan permintaan Rusia dan Putin masih bertahta di Kremlin.
Intinya, Jokowi tidak membawa penawaran agar menghentikan perang.
Namun, Jokowi membawa daftar permintaan berupa harapan yang dikabarkan mewakili kepentingan negara-negara berkembang agar peperangan segera dihentikan.
Perseteruan kedua negara memang sudah menimbulkan resesi dunia, membuat harga komoditas global melambung tajam, mengganggu rantai pasokan global, dan berpeluang menjerumuskan dunia ke dalam hantu resesi dan stagflasi.
Harga minyak dunia saat ini bertengger di atas 100-an dollar AS per barel, yang membuat Pertalite dan Solar langka.
Hal ini membuat Indonesia perlu menurunkan puluhan triliun rupiah untuk menyubsidi BBM.
Dampak ini tidak hanya dialami Indonesia, karena Amerika Serikat (AS) mengalami inflasi mencapai 8,3%, Inggris mencapai 9%, Brasil 12,1%, Meksiko 7,7%, India 7,8%, dan Rusia 17,8%.
Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi global kembali terpangkas.
Risiko global ini disadari Rusia dan Dunia Barat, tapi menghindari risiko ini tampaknya belum jadi prioritas kedua negara.
Jannus berpendapat, Putin sangat menginginkan hal ini untuk membalas negara-negara Barat, yang notabene dianggap negara-negara yang akan menanggung risiko global ini.
Ini artinya, resesi global adalah salah satu tujuan Putin menjadi senjata membalas sanksi-sanksi dari Barat.
Walaupun begitu, misi Jokowi datang ke Kiev dan Moskow perlu diapresiasi.
Jannus berpendapat Jokowi masih berpikir lebih jauh, di saat negara dari dunia berkembang justru sudah disibukkan dengan ancaman resesi di negaranya masing-masing.
Memang tidak dipungkiri, Jannus juga mengatakan Jokowi melampaui PM India Narendra Modi dan Presiden China Xi Jinping, dua pemimpin raksasa Asia, yang memilih tidak ikut campur dalam urusan Rusia-Ukraina.
Padahal kedua negara punya kapasitas geopolitik dan ekonomi yang bisa dipakai untuk menekan kedua negara yang berseteru itu.