Intisari-Online.com - Dalam ajang KTT G7, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi), secara terang-terangan meminta kepada negara-negara anggota KTT G7 untuk tidak mengenakan sanksi terhadap Pupuk Rusia.
Permintaan tersebut dilontarkan Jokowi ketika banyak negara, terutama Uni Eropa, memberlakukan sanksi terhadap Rusia.
Uni Eropa pada akhirnya sepakat untuk memotong 90 persen impor minyak dari Rusia pada akhir tahun ini setelah berkompromi dengan Hongaria.
Kesepakatan tersebut dicapai melalui pembicaraan panjang, menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk tawar-menawar atas larangan total terhadap minyak Rusia.
Proses penetapan larangan minyak Rusia tersebut menghadapi perlawanan keras dari Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban, yang mengatakan embargo akan menghancurkan ekonomi negaranya.
Kesepakatan kemudian dicapai para pemimpin Uni Eropa pada pertemuan di Brussels, Senin (30/5/2022) lalu, di mana kompromi dilakukan dengan mengecualikan pengiriman yang tiba di Eropa melalui pipa Druzhba.
Sisa 10 persen akan dibebaskan sementara dari sanksi sehingga Hungaria, Slovakia dan Republik Ceko terus memiliki akses ke bahan bakar yang tidak dapat mereka ganti dengan mudah.
Uni Eropa mati-matian memberikan sanksi terhadap Rusia, mengapa Jokowi memperjuangkan pupuk Rusia agar tak kena sanksi?
Permintaan Jokowi kepada negara-negara KTT G7 bukan tanpa alasan.
Menurut Jokowi, perang Rusia-Ukraina berdampak sangat siginifikan terhadap rantai pasokan pangan dan pupuk.
Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya dukungan negara-negara anggota G7 untuk mereintegrasikan gandum Ukraina serta komoditas pangan dan pupuk Rusia dalam rantai pasokan global.
Menurutnya ada dua cara untuk merealisasikan hal tersebut. Yang pertama, segera memfasilitasi ekspor gandum Ukraina. Kedua, melakukan komunikasi secara proaktif kepada dunia agar komoditas pangan dan pupuk dari Rusia tidak terkena sanksi.
“Komunikasi intensif ini perlu sekali dilakukan sehingga tidak terjadi keraguan yang berkepanjangan di publik internasional.
"Komunikasi intensif ini juga perlu dipertebal dengan komunikasi ke pihak-pihak terkait seperti Bank, asuransi, perkapalan dan lainnya,” ungkap Jokowi.
Ia menyoroti mengenai alasan pentingnya penanganan pasokan pupuk yang dapat berdampak besar bagi masyarakat dunia, terlebih di negara berkembang.
“Khusus untuk pupuk, jika kita gagal menanganinya, maka krisis beras yang menyangkut 2 milyar manusia terutama di negara berkembang dapat terjadi,” kata Jokowi.
Dalam ajang KTT G7 ini, Jokowi juga kembali menyerukan agar negara-negara anggota G7 dan G20, bekerja sama mengatasi krisis pangan yang tengah mengancam rakyat khususnya di negara-negara berkembang agar tidak jatuh ke jurang kelaparan dan kemiskinan ekstrem.
“323 juta orang di tahun 2022 ini, menurut World Food Programme (WFP), terancam menghadapi kerawanan pangan akut.
"G7 dan G20 memiliki tanggung jawab besar untuk atasi krisis pangan ini. Mari kita tunaikan tanggung jawab kita, sekarang, dan mulai saat ini,” tegas Jokowi.
Jokowi menekankan pangan adalah permasalahan hak asasi manusia (HAM) yang paling dasar.
“Kita harus segera bertindak cepat mencari solusi konkret. Produksi pangan harus ditingkatkan. Rantai pasoan pangan dan pupuk global, harus kembali normal,” kata Jokowi.
Selain memperjuangkan pupuk Rusia agar tak kena sanksi, Jokowi juga meminta para kepala negara anggota G7 untuk ikut serta berinvestasi dalam sektor energi bersih terutama dalam pengembangan mobil listrik dan baterai lithium di tanah air.
Menurutnya, potensi Indonesia sebagai kontributor energi bersih, baik di dalam perut bumi, di darat, maupun di laut, sangat besar.
Kemudian, Jokowi juga menyampaikan bahwa di Indonesia dan juga di negara-negara berkembang lainnya, risiko perubahan iklim sangat nyata, di mana risikonya bukan hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga menyulitkan petani dan nelayan.
(*)