Terlanjur Dikecam Satu Indonesia, Gara-Gara Pernyataannya Untuk Rebut Singapura dan Riau, Mahathir Maksud di Balik Pernyataannya, Sambil Singgung Dua Wilayah yang Pernah Diklaim dari Indonesia Ini

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad - Bendera Malaysia
Mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad - Bendera Malaysia

Intisari-online.com - Bebera waktu lalu sempah heboh pernyataan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad.

Dia berujar mengenai, Malaysia yang seharusnya merebut Singapura dan Kepulauan Riau.

Sontak pernyataannya ini langsung mendapat kecaman dari berbagai pihak terutama di Indonesia, di mana Malaysia memang dikenal sebagai negara yang suka klaim milik Indonesia.

Berbicara dalam sebuah acara pada (19/6), pria berusia 96 tahun itu merujuk bagaimana daerah yang dulu dianggap sebagai bagian dari tanah Melayu, telah diserahkan di masa lalu.

Secara khusus, dia menyebutkan hilangnya wilayah perbatasan Semenanjung Malaysia dengan Thailand serta Kepulauan Riau dan Singapura.

Dia juga menyebutkan singkapan berbatu Pedra Branca, yang menurut pengadilan dunia pada 2008 milik Singapura menyusul sengketa wilayah antara kedua negara bertetangga itu.

"Seharusnya kita tidak hanya menuntut agar Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh dikembalikan kepada kita, kita juga harus menuntut Singapura dan Kepulauan Riau, karena mereka 'Tanah Melayu'," katanya dilaporkan.

Dalam sebuah pernyataan pada Kamis (24/6), Mahathir mengatakan komentarnya telah salah dilaporkan.

Baca Juga: Bobroknya Sistem Hukum Malaysia, Hakim yang Siap Jadi Algojo untuk Eks-Perdana Menteri Najib Razak Malah Justru Punya Jabatan Penting dalam Jeratan Kasus 1MDB yang Buat Najib Razak Kaya Raya

"Saya tidak meminta Malaysia untuk mengklaim tanah yang telah kami hilangkan," katanya.

"Saya mencoba untuk menunjukkan bahwa kami sangat khawatir kehilangan batu seukuran meja tetapi tidak pernah tentang bagian yang lebih besar dari Malaysia ketika mereka diambil dari kami," katanya.

Dia menyarankan bahwa itu adalah kesalahan pemerintah negara bagian Johor, yang merupakan raja turun-temurun yang telah lama dia perdebatkan, telah menyangkal di masa lalu bahwa Pedra Branca milik negara.

"Jika penolakan itu tidak dilakukan, tidak akan ada perselisihan," katanya.

Dalam pernyataannya, Mahathir merujuk pada sengketa teritorial lain, dengan Indonesia, atas pulau Ligitan dan Sipadan.

Pada tahun 2002, pengadilan dunia memutuskan bahwa kedua pulau di Laut Sulawesi adalah milik Malaysia.

Dia mengatakan Malaysia perlu bersyukur atas kemenangan itu dan "bersyukur bahwa Indonesia tidak mempermasalahkan bangsal".

Mahathir menambahkan,"Sungguh, kami tidak bersyukur atas keuntungan kami".

Di Singapura, pernyataan Mahathir seperti yang awalnya dilaporkan oleh harian nasional The Straits Times, menimbulkan reaksi keras di media sosial.

Pengguna media sosial dari negara kota itu mengecam mantan perdana menteri dua kali itu karena mengobarkan niat buruk di antara para tetangga.

Lainnya mencatat reputasi politisi veteran untuk sikap hawkish di negara kota, yang memisahkan diri dari Malaysia pada tahun 1965 setelah serikat singkat dan penuh badai.

Di Indonesia, juru bicara kementerian luar negeri Teuku Faizasyah mengisyaratkan ketidaksenangan Jakarta atas komentar Mahathir, dengan mengatakan pemerintah "tidak melihat dasar hukum dan alasan untuk pernyataan Tun Mahathir".

"Di saat dunia menghadapi banyak tantangan, politisi senior tidak boleh membuat pernyataan tidak berdasar yang dapat merusak persahabatan," katanya.

Reaksi di Malaysia sangat berbeda, dengan komentator mengatakan kemungkinan komentar Mahathir yang tiba-tiba tentang sengketa teritorial sebenarnya adalah pukulan terselubung yang ditujukan pada Sultan Johor Ibrahim Ismail daripada Singapura.

Ibrahim, dalam sambutannya kepada majelis negara bagian Johor pada (16/6), merujuk keputusan 2018 oleh pemerintah federal, yang dipimpin oleh Mahathir pada saat itu, untuk menarik banding ke pengadilan dunia atas kasus Pedra Branca.

Ibrahim mengatakan dalam pidatonya bahwa "Johor juga tidak diajak berkonsultasi sama sekali ketika keputusan itu menyangkut tanah dan kedaulatannya".

Artikel Terkait