Bila soal urusan materi pamer kendali sepenuhnya ada pada Margana, Mikke justru menghadapi bagaimana mempersiapkan pameran dalam waktu singkat tapi menarik. "Kami hanya punya waktu tiga pekan," kata Mikke.
Padahal, tidak mungkin menjabarkan kisah yang begitu panjang dalam ruang yang begitu kecil. Selain itu, gedung tempat pameran adalah bekas gedung telantar. Jadi, tugas tim artistik adalah mengubah bagaimana ruangan yang sederhana itu menjadi sedap dipandang. Memasang trek lampu, mendesain ruang dan fasad adalah tugas utama Mikke dan tim.
Soal warna yang didominasi merah, hal itu juga bukan tak ada artinya. “Dinding dicat merah, karena dinding merah simbolik warna merah adalah pertarungan, karena rempah saling dipertarungkan dan dipertaruhkan berbagai pihak,” terang Mikke.
Selain menampilkan ragam arsip, pameran yang dibuka tepat pada peringatan ke-109 Hari Purbakala ini juga menggandeng seniman Titarubi. Ia membuat dua karya instalasi berupa kapal perang Madura yang mengangkut berbagai komoditas rempah.
Karya Kapal Perang Madura Titarubi itu didasarkan dari keterangan dalam Jurnal Jacob Cornelisz van Neck (1601), yang disebut “kapal perang Madura”. Kapal itu digambarkan bersenjatakan meriam serta penuh tombak dan tameng. Kapal perang Madura dan Ternate (Kora-kora) dideskripsikan Laksamana Jacob Cornelisz van Neck dan Wakil Laksamana Wijbrandt van Warwijck dalam perjalanan dengan empat kapal Belanda yang berlayar ke Maluku dari Banten pada 1598 dalam Ekspedisi Belanda Kedua (1598–1600).
Selain itu replika kapal perang Madura, Titarubi juga membuat replika kapal yang terukir dalam relief Candi Borobudur.
Pameran ini bukan hanya mengulas sejarah pelayaran Nusantara, tetapi juga menyajikan tentang kosmologi Maritim Mataram serta kronik upaya politik Mataram dalam menguasai perdagangan laut. Tak ketinggalan, ragam olahan jamu juga menjadi salah satu hal yang dipamerkan. Sebab, jamu adalah salah satu olahan berdasar rempah yang masih eksis hingga kini.
Menurut Mikke, dalam sudut pandang pameran, Penunggang Gelombang telah menampilkan ragam materi. "Tidak terbatas pada display arsip-arsip seperti pada pameran sejarah kebanyakan. (Ada) video, mural, artefak, patung, variasinya agak banyak, nuansanya lebih pameran seni rupa," tandas Mikke.
Maka itu, di Yogyakarta pameran macam ini mesti kerap dilakukan. Sebab, bagi dia, banyak ruang-ruang warisan kebudayaan di Yogyakarta bisa dimanfaatkan. "Dan itu mesti diimplementasikan dengan cantik. Jadi (agar pameran) bukan hanya seni rupa, tapi juga ilmu lain," kata Mikke.
Penulis | : | Aris Setiawan Rimbawana |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR