Sejarah Budaya

Brandstory

Konten ini merupakan kerja sama Intisari dengan Sejarah Budaya

Pameran "Daulat dan Ikhtiar": Upaya Menghidupkan Sejarah Lewat Seni

Aris Setiawan Rimbawana
Ade S

Tim Redaksi

Salah satu karya yang dipamerkan dalam Daulat dan Ikhtiar, “Re-hyper Text, Story Sorry” tumpukan buku yang dicor semen karya Dedy Sufriadi.  Dipamerkan dalam
Salah satu karya yang dipamerkan dalam Daulat dan Ikhtiar, “Re-hyper Text, Story Sorry” tumpukan buku yang dicor semen karya Dedy Sufriadi. Dipamerkan dalam

Intisari-Online.com -Pameran yang digelar di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, “Daulat dan Ikhtiar: Memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 Melalui Seni”, memang jauh dari kesan monoton. Di tangan kurator Mikke Susanto, dan sang asisten, Duls Rumbawa, pameran hasil kerja sama antara Museum Benteng Vredeburg dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini tampil begitu semarak.

Padahal, Museum Benteng Vredeburg nyaris tiap tahun mengadakan pameran untuk memperingati Republik yang bertahan dari gempuran agresi Belanda pada 1949 itu. Jadi, apa yang berbeda?

Menurut Mikke, hal unik pada pameran yang berlangsung sejak 1–30 Maret 2022 ini adalah karena konsep sejarah yang dijadikan inspirasi berkarya para seniman. Hal ini memungkinkan sejarah terasa lebih “hidup”. Ia menolak bila sejarah hanya berakhir pada sejarah yang beku. Maka itu, kata Mikke—seperti dinukil dalam Dialog Intisari, 7 Maret 2022 lalu—bahwa, “Respons kerja kreatif semacam ini bertujuan untuk menampilkan gagasan baru tentang peristiwa sejarah agar lebih segar dicerna generasi hari ini.”

Akan tetapi, ujar Mikke, konsep pameran macam itu juga menjadi tantangan bagi para pengunjung. Karya-karya yang dipamerkan sekaligus mengajak pengunjung melihat fakta tersaji melalui seni. “Ini menjadi tantangan bagi pengunjung bagaimana untuk mengartikulasi dan mengapresiasi fakta [yang] tersaji melalui seni,” imbuh pria yang juga menjabat sebagai ketua jurusan Tata Kelola Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.

Seni Kritis

Meski memiliki motif memperingati peristiwa serangan umum dan mendukung wacana 1 Maret sebagai hari besar di Indonesia, tetapi pameran ini juga berupaya tetap kritis terhadap narasi sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Selama ini, narasi tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 dominan oleh peran beberapa pihak belaka. Soal ini, Mikke dan Duls bersepakat bahwa mereka tak mau bila pameran ini terjebak pada romantisme sejarah belaka.

Maka itu mereka memilih lima perupa muda, dua di antaranya adalah kolektif seni, untuk tampil di pameran. Alasannya adalah para perupa ini terbiasa menggunakan pendekatan kritis ketika berkarya. Jadi, seperti tulis Mikke dan Duls pada buku katalog pameran, “karya-karya yang terpampang di pameran adalah hasil dari riset lapangan dan kajian penelitian para perupa.”

Kelima perupa itu adalah Lutse Lambert Daniel Morin, Dedy Sufriadi, kolektif Tempa–Rara Kuastra dan Putut–, Ryan Kresnandi, serta kolektif Broken Pitch. Dari kelima perupa itu, mereka kemudian disilakan untuk memilih lima karakter yang jadi pokok dari pameran ini—yakni petani; tentara pelajar; tentara; pemuda; dan kaum perempuan. Karakterp-karakter itu telah terdapat di Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berlokasi di titik kilometer nol Kota Yogyakarta yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1 Maret 1973.

Salah satu seniman, Dedy Sufriadi, memilih mengeksplorasi karakter pelajar. Bila Anda memasuki ruang pamer, di salah satu sisi ruang, mata Anda akan tertumbuk pada tembok beton setinggi sekitar dua meter dari ribuan buku yang disusun memanjang. Selain itu, Anda juga bakal berjumpa sebuah teve yang masih berfungsi dan memutar film Janur Kuning(1979) dicor pada semen. Keduanya adalah karya Dedy.

Beber Dedy usai acara penutupan, Rabu, 30 Maret 2022, kedua karya itu sebetulnya bentuk kritiknya terhadap sejarah. “Sebetulnya, ada miskomunikasi sejarah yang dibuat tidak sesuai dengan versi aslinya, ada pembekuan sejarah,” ujar Dedy. Meski karyanya tentang kritik terhadap sejarah, tapi Dedy melakukannya dengan cara yang lebih lunak. “Memang enggak mudah menginterpretasikan beberapa artefak dan menginterpretasikan apa yang saya mau, tetapi intinya saya berharap kita mulai sekarang sudah mulai berani merekonstruksi [ulang] sejarah.”

Selain Dedy, ada juga seniman lain seperti Lutse Lambert, yang mengekspos karakter tentara, sebab kakeknya adalah seorang tentara dia menemukan artefak berupa topi tentara; karya lain dari Lutse Lambert juga mendisplay barang-barang yang mencitrakan tentara: jubah yang dikenakan oleh Sudirman, buku sandi yang mengabarkan kemenangan serangan umum.

Riyan Kresnandi, video-artis yang masih muda, bertugas mengekspos petani. Ryan menampilkan bagaimana gelora partisipasi publik, terutama petani, dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan memajang benda seperti perkakas pertanian yang digunakan sebagai senjata, mata uang, dan ketela pohon.

Tempa, kolektif seni yang beranggotakan sepasang suami-istri ini melakukan kajian bacaan tentang peran kaum perempuan pada serangan umum. Salah satu karya mereka adalah kain serbet digunakan sebagai karya. Terakhir,Broken Pitch, bertugas untukmengeksplorasi sosok pemuda. Mereka mengeksplorasi hal-hal remeh, yang justru mampu melihatsisi baru dari perang. Mereka juga tidak memandang perang sebagai heroisme dan kekerasan.

Tanggapan dan Antusiasme Pengunjung

Untuk mengetahui tanggapan para pengunjung, saya bertanya kepada mereka yang berkunjung pada Rabu, 30 Maret 2022. Pertama Abhiseka, mahasiswa arkeologi UGM 2018. Dia berkata bahwa di ruang pamer interpretasi masing-masing memang amat diperlukan untuk melihat karya yang ditampilkan. Dari sekian karya, ia paling suka dengan karya cor buku karya Dedy Sufriadi. Menurut Abhiseka, karya itu adalah simbol bahwa buku mampu membentengi dari serangan kabar-kabar bohong yang berseliweran.

Lain lagi dengan pengunjung kedua yang saya tanyai, Quin, mahasiswa PGSD Universitas Sanata Dharma. Menurut dia jarang ada pameran seni tapi mengangkat topik sejarah. Dengan datang ke pameran itu,ia terinspirasi untuk mengajarkan materi sejarah kepada anak-anak SD dengan lebih menarik. Sementara itu, favorit Quin adalah karya Tempa. Menurutnya, karya itu memiliki daya tarik, dia juga tidak menyangka bahwa barang sesederhana serbet bisa menjadi karya seni. Quin juga berharap bahwa Museum Benteng Vredeburg mesti membuat pameran serupa pada tahun depan.

Antusiasme pengunjung juga termasuk tinggi. Hal itu selaras bila dicocokkan dengan data pameran. Hingga 29 Maret 2022 sore, menurut keterangan Mikke, kunjungan fisik pameran itu telah mencapai lebih dari 12.000. “Padahal, target kami hanya 5.000 saja,” kata dia. Itu jumlah yang besar. “Sangat bagus antusiasmenya. [Kunjungan] harian pun bagus, karena juga Vredeburg terletak di tengah kota. Biasanya keluarga [yang tengah berlibur] banyak pula yang datang.”

Dedy, sebagai seniman yang karyanya dipamerkan, juga semringahmengetahui pameran itu telah dikunjungi belasan ribu orang. “Luar biasa. Pameran ini saya pikir salah satu pameran terbesar dan berhasil, bagi seniman ini artinya berhasil ditonton puluhan ribu orang,” ujar Dedy. Menurutnya, media sosial juga berperan penting untuk kesuksesan pameran ini. “Saya tidak menyangka pameran ini edan, [padahal] biasanya sepi. Harusnya ini jadi agenda tahunan,” pungkas Dedy.

Artikel Terkait